Selanjutnya, Ira dan Ade didampingi pengacaranya menggugat pihak RS secara perdata ke Pengadilan Negeri Bandung. "Intinya, kami tetap menuntut rekam medis. Kami masih menunggu proses banding di tingkat kasasi," ujar Ade.
Kata Ira, "Saya tetap bertahan demi kesembuhan Ismi. Kami sempat lega ketika tahun lalu kondisi Ismi sempat membaik. Dia mulai ada respons ketika keluarga ada di sampingnya.."
Tak terasa 2 tahun 8 bulan berlalu. Kondisi Ismi tetap memprihatinkan hingga sehari setelah koma, 21 Mei 2011 lalu Ismi meninggal dunia di usia 4 tahun. Penderitaan panjangnya sudah berakhir. Jasadnya dimakamkan di Garut. Namun perseteruan keluarganya dengan pihak RS belum berakhir. Pekan silam, "Kami menggugat secara pidana karena ada indikasi malapraktik," tegas Ade.
Ade sang suami pun merasa tidak puas dengan resume yang dikeluarkan pihak RS. "Kesimpulan RS menyatakan Ismi radang otak stadium 3. Juga karena tifus. Itu, kan, hanya resume. Yang kami butuhkan rekaman medisnya."
Kini, mereka kembali menata hidupnya. "Perlahan kami kembali jualan ayam goreng. Dulu, selama Ismi masih ada, kami kadang tetap jualan demi menyambung hidup tapi lebih banyak di RS. Kami sudah habis-habisan. TV, kursi, tempat tidur, habis kami jual. Memang biaya perawatan gratis tapi tetap ada obat-obat yang mesti kami beli," papar Ade.
Tinggal kenangan tentang Ismi yang masih tersisa. "Di batin saya, dia sangat dekat. Saya selalu teringat Ismi. Apalagi ketika kembarannya, Isma, mulai berceloteh, 'Ismi di mana?' Batin saya teriris. Semasa Ismi masih ada, saya selalu semangat merawatnya. Tak pernah saya merasa lelah berjuang demi kesembuhannya. Justru setelah dia tiada, saya jadi lemah. Makanya, ke mana pun, barang-barang Ismi selalu saya bawa. Kaus kaki yang terakhir kali dipakainya, tak pernah lepas dari saya. Biar saja orang bilang saya gila," kata Ira sambil meneteskan airmata.
Dirawat Penuh Kasih
Pelaporan orangtua Ismi atas dugaan malapraktik, ditanggapi dengan kepala dingin oleh RS nirlaba di Bandung ini. "Sebelumnya, mereka sudah buat gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung karena rekam medis yang tak diberikan ke keluarga dan ditolak pengadilan. Begitu juga saat mereka banding. Saat ini gugatan sudah masuk tahap kasasi," ujar H. Kuswara S. Taryono, SH, MH, kuasa hukum RS Borromeus.
Rekam medis yang diperkarakan orangtua Ismi, "Memang tak bisa diberikan. Bahkan aturan Menteri Kesehatan pun memang begitu. Yang bisa diberikan ke keluarga adalah resume medis," ucap dr Suriyono, Dirut RS Borromeus. Resume medis itu, lanjutnya, telah diserahkan secara berkala ke keluarga sampai Ismi berpulang.
Tuduhan keluarga bahwa tim dokter Borromeus tak merawat Ismi secara maksimal juga ditampik Suriyono. "Saat Ismi datang ke sini, kondisinya sudah kritis sehingga perlu dilakukan tindakan penyelamatan nyawa. Bukan lagi tindakan perawatan biasa." Itulah yang melatarbelakangi RS melakukan operasi pemasangan ventil untuk menyedot cairan dari kepala Ismi yang belakangan divonis menderita Hydrocephalus. "Dari penyedotan cairan itu diketahui penyakit Ismi adalah Menigitis Tubercolosis stadium 3. Di textbook, tingkat kematian penyakit ini 70 persen, sementara tingkat kecacatannya 80 persen."
Setelah menjalani perawatan hingga 2 tahun 8 bulan, "Keadaannya membaik. Dia sudah tak makan melalui selang, tapi disuapi. Itu yang membuat kami merasa aman memperbolehkan Ismi pulang." Kondisi Ismi yang sudah masuk masa tenang itu juga, katanya, yang membuat RS merasa tak perlu menyediakan dokter spesialis untuk perawatan sehari-hari Ismi. "Bila dia drop lagi, pasti kami kembali memberi pelayanan dokter spesialis."