F: Dulu kegiatan Mama normal. Mama suka menyetir mobil ke mana-mana. Tapi sejak 1998 Mama berubah jadi penyendiri, pendiam, dan tak beraktivitas lagi di rumah. Mama mulai sering teriak-teriak dan ketawa sendiri sehingga harus diberi obat penenang. Selama empat tahun terakhir, Mama harus dikontrol lewat obat-obatan. Tapi sering terputus-putus. Selain mahal, Papa juga kurang serius. Misalnya dalam hal memberikan obat atau memberi kasih sayang layaknya suami ke istri.
Di dalam permohonan poligaminya Papa menuliskan, Mama menunjukkan gejala gangguan jiwa. Saat Papa ke luar kota, kami bawa Mama ke RSCM. Setelah dirawat dua bulan oleh ahli psikiatri, Mei 2008, dokter bilang kondisi Mama sudah sembuh, tapi harus dikontrol dengan obat agar tidak kambuh.
Sebetulnya, seperti apa penyakit yang diderita Ibu?
F: Ada dua diagnosis schizophrenia kronis yang menuntut Mama untuk disuntik obat setiap dua minggu sekali. Selain itu, Mama juga ada hipertensi. Biaya perawatan memang ditanggung Papa. Tapi entah kenapa, akhir bulan ini biaya obat distop. Surat kesehatan Mama yang memuat dua diognosis tadi juga dipakai Papa sebagai penguat permohonan poligaminya.
Seperti apa sosok Ayah di mata keluarga?
F: Selain sibuk, beliau keras, kaku, dan kurang dekat dengan kami. Pernah saya dengar Papa bilang ke Mama dengan kata-kata 'goblok' atau 'bodoh'. Secara fisik memang tidak pernah ada kekerasan, tapi saya melihat beliau seperti menelantarkan Mama.
Sejak 1998, Mama tidak boleh mengelola keuangan keluarga, semua diurus Papa. Papa juga membuat sistem laporan tertulis, jadi kalau beli sesuatu harus ada bukti nota atau kuitansinya.
Apa reaksi keluarga saat permohonan poligami dikabulkan?
E: Saya belum tahu kalau suami sudah menikah lagi. Cuma tahu kesehariannya saja. Pasien suami memang banyak, jadi jam praktiknya panjang dan selalu pulang di atas jam 22.00. Saya suka nyambut suami pulang.
F: Kami mengajukan perlawanan karena Mama tidak pernah mengiyakan mau dipoligami. Mengacu pada UU Perkawinan, izin ini sebenarnya tidak sah karena hanya berupa surat izin dari atasan, yaitu Kepala Departemen Penyakit Dalam RSCM saat itu. Sedangkan Papa, kan, PNS Eselon 4D sehingga izin harus turun dari Menteri Kesehatan. Karena itu kami menang di tingkat PA.
Lalu pada Januari 2010, pihak personalia RSCM memberitahukan bahwa Papa megajukan permohonan poligami lagi. Dan Maret 2010, Surak Keputusan (SK) Menkes yang menyetujui permohonan poligami Papa ternyata turun.
Ade Ryani / bersambung