Sebuah musibah pasti menimbulkan reaksi emosional yang luar biasa. Begitu ujar Dra. Tri Iswardani, M.Si alias Dani. Itu sebabnya, kata wakil Ketua Bidang Pelayanan Masyarakat HIMPSI Jaya (Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya) ini, harus ada pendampingan psikolog untuk keluarga korban kecelakaan Sukhoi. Sejak peristiwa ini terjadi, HIMPSI Jaya membuka dua posko, di Halim Perdanakusumah dan RS Polri Kramat Jati selama lima hari penuh.
Wajar, kata Dani, jika keluarga korban menangis, marah, atau merasa bersalah. Namun ibarat luka, hal ini akan sembuh dengan sendirinya. "Kecuali ada faktor lain yang membuat lukanya komplikasi, seperti ekspos media yang berlebihan. Keluarga yang sudah ikhlas menerima musibah jadi teringat lagi, nangis lagi."
Selama beberapa hari membuka posko, Dani mengaku menemukan reaksi beragam dari keluarga korban. "Ada yang pasrah atau diam, ada yang masih yakin anaknya masih hidup, ada pula yang reaktif. Pada intinya mereka membutuhkan teman bicara untuk meluapkan emosi."
Strategi Untuk Anak
Berbicara dengan keluarga yang tengah mengalami duka mendalam tentu tak mudah. Bagaimana para psikolog ini mendekati keluarga korban? "Kami hampiri anggota keluarga yang datang, tanya hal ringan apa mereka sudah cukup istirahat, minum, makan. Intinya, kami harus peka melihat kebutuhan mereka di lapangan. Itu juga wajib dilakukan oleh keluarga terdekat."
Besarnya sorotan media terhadap musibah ini, tentu membuat keluarga memerlukan trauma recovery dalam kondisi nyaman, aman, dan stabil secara fisik yakni tidak lupa makan serta tidur cukup. Kalau tidak, selain psikologisnya belum kuat, "Dia bisa pingsan, sakit, dan sebagainya."
Beda lagi dengan pendekatan terhadap anak korban. "Tak banyak yang bawa anak ke posko. Keluarga biasanya minta kami melakukan kunjungan ke rumah atau mereka yang datang ke klinik supaya tidak jadi sorotan dan tak siap menghadapi itu."
Faktor internal dan eksternal, kata Dani, sangat memengaruhi reaksi anak menghadapi kepergian orang terkasih dalam hidupnya. Misalnya, sifat si anak, kedekatan dengan korban, kualitas hubungan, dampak dari kepergian orang itu, misalnya ayah yang tadinya pencari nafkah kini tak ada lagi.
Begitu pula saat menyampaikan berita buruk. "Perlu strategi dari pihak orang dewasa. Anak harus tetap diberitahu secepatnya tapi dalam kondisi tenang. Siapa pun yang menyampaikan, harus juga sudah ikhlas menerima, siap, dan kuat. Siap dalam artian tak hanya mampu menyampaikan tapi juga menghadapi reaksi si anak." Akan lebih bijaksana, ujar Dani, jika tidak menyimpan cerita atau mengelabui dengan alasan si anak masih kecil dan tidak paham. "Bisa jadi saat jenazah orang tuanya disemayamkan, ia bingung mengapa banyak orang datang ke rumahnya. Kabarkan berita buruk secara proporsional sesuai umur dan kuat-tidaknya anak. Tiap anak ada yang bimbing, punya obatnya sendiri, meski masih kecil harus menelan pil pahit, Tuhan punya maksud untuk hal itu."
Berdasarkan pengalamannya, selain faktor usia, kepribadian anak juga berperan besar dalam menyikapi sebuah musibah atau kematian. "Ada yang tetap ingin melihat barang-barang milik orangtuanya, ada yang lebih baik disingkirkan agar tak sedih. Jika ada anak yang masih menganggap si korban masih ada di situ dan hal ini berlangsung terlalu lama, diperlukan intervensi psikologis.
Hal itu, jelasnya, bisa dilihat jika si anak tidak bisa "berfungsi" secara normal baik fisik, psikologis, maupun sosial. "Misalnya dia mimpi terus, tidak mau sekolah, enggan ketemu orang," ujar Dani. Pada dasarnya ada reaksi emosional yaitu anak menarik diri (diam) dan histeris. Emosi tersebut harusnya dikeluarkan. "Kalau dia diam berarti malu karena merasa lingkungannya tidak nyaman atau aman untuk mengekspresikan emosinya. Jika begini bisa ter-block emosinya dan mengganjal. Akibatnya bisa ke fisik, jadi sakit."