Aku semakin gundah. Ada musibah apa ini? Apakah istriku yang tak pulang semalam mengalami kecelakaan? Pertanyaan dalam benakku pun terjawab ketika anggota polisi itu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto di dalamnya. "Apakah Bapak mengenal perempuan ini?" ujarnya sambil menunjukkan foto wajah istriku yang sudah terbujur kaku. Aku pun histeris dan tak ingat lagi apa yang terjadi.
Pernikahanku dengan Ayu rasanya hanya seumur jagung. Kami menikah pada 2007 lalu. Saat itu, statusku bujang sedangkan Ayu sudah menjanda dengan satu anak, Nadania Atika Sari (5). Namun aku sangat mencintai Ayu dan tak keberatan menikah dengannya. Ayahku juga merestui pernikahan kami. Keluarga Ayu pun mendukung kami.
Tak lama setelah menikah, kami hijrah ke Banjarmasin. Kebetulan abahnya Ayu membelikan sebuah rumah untuk kami tempati. Di Banjarmasin, meski tak hidup berlebihan, kami hidup bahagia. Apalagi Ayu memiliki usaha rias pengantin kecil-kecilan. Sedangkan aku, punya usaha dekorasi pengantin. Terkadang kami bekerjasama menangani klien.
Kepulangan kami ke Surabaya sebenarnya untuk sementara. Jelang lebaran tahun lalu, ayah dan ibuku memintaku menjenguk mereka. Karena sudah tiga tahun kami tak pulang. Selama di Surabaya, kami tinggal di rumah orangtuaku, Jl. Purwodadi. Dan daripada menganggur, aku mencoba bekerja jadi sopir taksi. Sedangkan Ayu jadi ibu rumah tangga.
Selama di Surabaya juga kami sering menyempatkan jalan-jalan ke mal. Kami kerap melihat ada lomba model cilik di mal. Ayu lalu bercita-cita, jika Muzafarr sudah agak besar akan diikutkan lomba model cilik bersama kakaknya, Nadania. Namun, belum sempat cita-cita itu terwujud, Ayu sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.
Terang saja, perasaanku saat ini masih kalut. Aku belum bisa berpikir apa selanjutnya yang akan aku jalani sepeninggal Ayu. Tapi yang jelas, di kepalaku saat ini adalah merawat kedua anakku dan mewujudkan cita-cita ibunya memasukkan mereka ke pondok pesantren.
Amir Tejo / bersambung