Dinamika Anak Pada Tiap Jenjang Pendidikan

By nova.id, Selasa, 1 Mei 2012 | 23:56 WIB
Dinamika Anak Pada Tiap Jenjang Pendidikan (nova.id)

Atiyah, S.Pd (41), guru BK (Bimbingan Konseling) kelas 9 di SLTPN 85 Pondok Labu, Jakarta, menjelaskan perbedaan karakter untuk siswa kelas 7, 8, 9. Di kelas 7, ujarnya, anak cenderung masih agak kekanakan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, juga masih malu berpendapat. Ini, katanya, mungkin karena masa transisi dari SD ke SLTP. Naik ke kelas 8, ego anak sudah mulai terlihat. "Anak mulai sering terlihat labil dan menunjukkan ke"aku"annya. Hal ini tercermin dari sikap memberontak atau mulai berani menentang peraturan orangtua dan sekolah." Biasanya mereka juga mulai curhat dengan teman-teman dekatnya.

Atiyah mengenali, di kelas 8 pada semester genap, kerap terasa nuansa persaingan di antara siswa. "Ada yang ingin menunjukkan dirinya paling pintar, atau mencoba melanggar peraturan, misalnya soal baju. "Di kelas 8, siswa juga sudah mulai merasa setingkat lebih tinggi dan paling "memiliki" sekolah. "Kalau ada adik kelas yang terlihat agak gimana-gimana, suka jadi perbincangan atau dijutekin."

Menurut Atiyah, perkataan dengan mimik mengancam sebenarnya sudah termasuk bullying. Sedangkan bagi mereka yang punya peer group (geng), jika dinasehati para siswa biasanya berbalik tanya, 'Apakah Ibu tak punya teman dekat waktu sekolah?' "Wah, anak-anak sekarang pintar-pintar jawabnya," ujarnya seraya mengaku biasanya menasehati para siswanya untuk berkegiatan positif.

Sebagai guru BK, personal approach selalu ditekankan Atiyah. Jika tak dilakukan pendekatan demikian, mustahil siswa-siswi mau terbuka dan menceritakan masalahnya. Mayoritas masalah yang dikeluhkan anak usia ini seputar pertemanan, pelajaran, orangtua, dan lawan jenis. Misalnya, Atiyah pernah mendapati anak didiknya curhat karena merasa dimusuhi teman seusianya.

Coba-Coba Bandel

Lalu bagaimana dengan kondisi psikologis anak di kelas 9? Memasuki semester ganjil, ego superior sudah pasti terlihat. Anak-anak di tingkat terakhir di SMP ini merasa memiliki sekolah, karena mereka yang paling senior. Mereka juga cenderung mulai mendapat pengaruh dari luar misalnya dari kegiatan menongkrong atau merokok. Alasannya sekadar coba-coba. "Tapi selalu saya ingatkan, merokok bisa berefek jadi kecanduan."

Kenakalan anak, sebut Atiyah, juga terdeteksi dari gerak-geriknya. Tak hanya melalui karakter yang pendiam atau periang. Perilaku labil juga kerap terjadi di usia ini. Masalah percintaan biasanya juga sudah muncul, misalnya putus cinta yang menyebabkan anak jadi malas belajar dan nangis terus. "Emosinya tentu belum matang. Karena masih di masa pubertas, jadi meluap-luap."

Di kelas 9 juga kadang terjadi gengsi akibat pergaulan. "Ada anak yang sampai tak mau sekolah karena ingin punya barang tertentu tapi orangtuanya tak sanggup membelikannya. Jika sudah begitu, tugas guru BK melakukan home visit untuk mengetahui apa problem yang dihadapi anak didik. Meski begitu, "Menjelang semester genap biasanya mereka mulai tenang kembali. Sebab sudah mulai menghadapi ujian." Namun ada juga protes dari siswa karena merasa menghadapi ujian tak henti-henti. "Saya katakan, jika mereka malas belajar, jangan sekolah di SMP unggulan. Yang seperti itu memang harus dihadapi."

Jika dulu siswa-siswi takut bicara kepada guru, kini zaman sudah berbeda. Guru pun, lanjut Atiyah, harus menyesuaikan diri agar siswa bisa bebas bercerita dengan terbuka. Ruang BK jadi tempat bagi mereka bercerita. Bisa dengan perjanjian, di jam istirahat, atau sepulang sekolah. "Kadang ada juga yang telepon dan tulis pesan di Facebook. Oleh karena mereka berbeda-beda, tiap angkatan tentu punya karakter khusus," pungkas Atiyah.

 Noverita, Ade Ryani