Tewasnya Herman, membuat sang istri, Mardiah, semakin miris. Dulu, katanya, ia tak merestui keinginan suaminya bekerja kembali di Malaysia. Maret 2011 silam adalah yang ketiga kalinya Herman merantau ke Negeri Jiran. "Dia ngotot pergi. Alasannya, perlu kerja mencari uang untuk keluarga dan masa depan Putri, anak kami yang baru berusia 5 bulan."
Saat itu Herman memakai visa pelacong karena jika menggunakan jasa agen, biayanya mahal. "Bisa Rp 4-5 juta. Apalagi, di sana ada pamannya, Abdul Kadir Jaelani, yang bersedia menampungnya." Di sana, sambung Mardiah, suaminya bekerja sebagai buruh bangunan.
Jumat (23/3), Herman yang memang hobi mancing, masih berkirim kabar ke Mardiah. "Dia bilang mau mancing di tempat pemancingan bersama Kadir dan Mad Noor. Itu saja. Setelah itu tak ada kabar."
Tiga hari menunggu tanpa kepastian, Mardiah beserta orangtua Herman dikabari oleh Wildan, sepupu Kadir yang juga bekerja di Malaysia. "Kak Wil bilang, dia baca di koran ada dua motor ditemukan di tempat mancing. Saat lapor kehilangan anggota keluarga, kepolisian menyarankan untuk lihat ke RS," lanjut Mardiah.
Berangkatlah Wildan bersama Hirman, kakak kandung Kadir, dan majikan mereka ke RS Port Dickson. Alangkah terkejutnya mereka mendapati ketiga korban telah tewas dengan banyak "hiasan" jahitan di tubuhnya. Temuan ini lantas segera dikabarkan ke Mardiah sekeluarga. "Saya, ibu, dan bapak mertua pingsan. Suami saya juga dibilang ditembak karena merampok. Tak mungkin dia begitu," ujar Mardiah sambil menggendong bayinya.
Untuk memulangkan jasad Herman, keluarga membayar Rp 13 juta, sementara biaya untuk Abdul Kadir Jaelani dan Mad Noor didapat dari urunan keluarga serta teman-teman TKI di Malaysia. Meski telah melapor pada Selasa (3/4) ke KBRI di Kuala Lumpur, kondisi yang tidak memungkinkan membuat KBRI tidak memeriksa penyebab kematian dan tidak bertanggungjawab terhadap kondisi jenazah yang dikirim.
Ade Ryani, Hasuna / bersambung