Irma Suryati, Sukses Setelah Kenyang Ditolak (1)

By nova.id, Sabtu, 28 April 2012 | 23:27 WIB
Irma Suryati Sukses Setelah Kenyang Ditolak 1 (nova.id)

Irma Suryati Sukses Setelah Kenyang Ditolak 1 (nova.id)
Irma Suryati Sukses Setelah Kenyang Ditolak 1 (nova.id)

"Irma ingin membuktikan bahwa penyandang cacat juga bisa berkreasi. ''kelak, saya ingin membuat pabrik yang semua karyawannya penyandang cacat,'' ucapnya optimis. (Foto: Siswanto/Dok NOVA) "

Sulitkah membangun kembali usaha setelah musibah?

Setelah kebakaran itu kondisi kami bernar-benar minim, bahkan banyak utang karena banyak barang-barang pinjaman yang terlalap api. Saat itu suami, kan, membuka servis alat elektronika. Semua barang seperti tape, radio, dan teve adalah milik sales yang harus kami ganti. Kepada pemilik barang yang kami pinjami, saya minta tenggang waktu pembayaran. Pokoknya, pas sudah ada uang baru saya ganti.

Sekitar setahun saya sudah bisa melunasi semua utang, meskipun hidup jadi penuh penderitaan karena dikejar-kejar para pemberi utang. Bayangkan saja, tabungan kami pun habis hanya untuk bayar utang. Uang cash kami yang berada di toko sudah hangus semua. Untuk makan saja tidak ada.

Kemudian?

Saya dan suami memutuskan pulang ke kampung suami di Kebumen. Di sana, kami minta bantuan ke Bupati Kebumen saat itu, Rustriningsih. Saya presentasi di hadapan beliau soal cita-cita saya untuk membentuk kelompok usaha pembuatan keset bagi penyandang cacat di setiap kota.

Beliau kemudian membantu mengumpulkan kembali teman-teman penyandang cacat dari 26 kecamatan di Kebumen, masing-masing kecamatan mengirim 5 orang. Tentu saja semua itu tidak berjalan semulus bayangan saya. Dari tahun 2002 hingga 2007 saya mengalami banyak jatuh bangun dalam usaha.

Di Kebumen, antara kota dan desa sama saja penjualannya. Jadi saya putuskan membuka usaha di desa saja. Kami buka bisnis dengan cara kemitraan. Karena karyawan kami rumahnya jauh-jauh, jadi pekerjaan dibawa ke rumah mereka. Setelah jadi, baru kami ambil. Biasanya kalau mereka ambil 1 kilo kain bisa jadi 5 keset. Buat karyawan, dengan 1 kilo kain itu mereka bisa ambil untung total Rp 17.500. Kalau kesetnya bermotif, per kilo bisa untung hingga Rp 30 ribu.

Pemasarannya bagaimana?

Waktu pertama kali usaha ini berjalan, ya, sengsara banget. Setiap saya dan suami datang ke toko-toko untuk menawarkan barang, selalu ditolak. Tapi sekarang, sih, sudah jarang memasarkan lewat toko karena sudah ada staf marketing yang memasarkannya.

Sampai saat ini kami sudah bisa mengekspor keset hingga ke Australia setiap tiga bulan sekali dengan harga Ro 25-50 ribu per keset. Untuk pasar lokal, sebulan dua kali kami kirim ke Pasar Tanah Abang dengan harga mulai Rp 4 ribu. Satu bulan permintaannya sudah 100 ribu keset. Nah, kadang-kadang kami tidak bisa memenuhi permintaan karena kurang barang. Perajin kami, kan, tidak seperti pabrik. Rata-rata mereka memiliki pekerjaan sambilan.

Untuk menambah karyawan, setiap ada masa libur saya melatih ke beberapa desa dan kota. Itu pun tidak semua peserta pelatihan memiliki komitmen. Dari 20 orang, paling hanya beberapa orang saja yang mau rutin bekerja. Kami juga tidak ada kualifikasi untuk mutu barang. Biarpun hasilnya jelek tetap kami terima sambil kami latih terus. Sebenarnya menjahit untuk membuat keset itu mudah, lho. Kelihatannya saja rumit. Rata-rata, 2 jam belajar sudah bisa, kok.

Siswanto / bersambung