Kalau teringat kejadian itu, sungguh aku menyesal. Tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk menyakiti dan membuang darah dagingku sendiri. Semua kulakukan dalam kekalutan karena tak tahu lagi harus bagaimana.
Sebagai sulung dari tiga bersaudara, aku memanggul sebagian beban keluarga di kampung. Kehidupan kami pun jauh dari sejahtera. Maklum, kedua orangtuaku hanyalah buruh tani yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Itu pun kadang masih kurang. Akibat kemiskinan itu pula aku tak mampu sekolah tinggi. Selepas SD, aku berhenti sekolah dan memutuskan bekerja membantu orangtua.
Kebetulan tetanggaku, Y, sudah lama bekerja di Bekasi sebagai pembantu rumah tangga. Maka, sejak umur 13 tahun aku memutuskan ikut Y untuk jadi pembantu. Aku pikir, senang rasanya bisa cari uang sendiri. Ya, setelah jadi pembantu aku memang suka mengumpulkan gajiku. Bila ada teman yang pulang kampung, aku titipkan sebagian uang untuk membantu uang sekolah adik-adikku. Aku ingin mereka bisa sekolah lebih tinggi dariku. Tapi setelah ada masalah ini, sepertinya sudah tak mungkin lagi.
Janji Menikah
Sejak pertama kali bekerja hingga sesaat sebelum aku ditangkap polisi, sudah tiga kali aku ganti majikan. Lima bulan terakhir ini aku bekerja di Cipete bersama Y. Majikan kami yang ini baik, makanya aku betah di sini. Tugasku sama seperti saat kerja di rumah sebelumnya. Mencuci, memasak, dan sesekali mengasuh anak kecil.
Sebelumnya, saat aku masih kerja di Majalengka, aku berkenalan dengan seorang pria bernama A (30). Kami berkenalan lewat ponsel. Sejak itu kami jadi sering mengobrol dan makin dekat. Oh ya, A juga bekerja di Jakarta sebagai tukang bangunan. Ketika itu kami lebih banyak pacaran lewat telepon, hanya sebulan sekali saja kami bertemu.
Bila kuingat-ingat, kami pacaran sekitar 2 tahun. Dia bahkan sudah kuperkenalkan ke orangtuaku di kampung. Tapi karena A duda beranak satu, orangtuaku tak setuju. Meski tak direstui, kami tetap berhubungan. Bahkan, A juga meyakinkan tak akan meninggalkanku. Ah, mungkin aku terlalu naif karena begitu percaya padanya. Di mataku A sangat baik dan dewasa. Yang terpenting, aku merasa dia amat sayang padaku. Saking cintanya pada A, aku pun re;a menyerahkan mahkota keperawananku padanya.
Setelah behubungan sedalam itu, A kerap berjanji akan menikahiku. Demi ikatan suci itu, kami pun berjanji mengumpulkan uang untuk biaya menikah. Jika sudah terkumpul, pasti kami menikah, begitu pikirku. Sayang, sebelum mimpi itu terwujud hubungan kami kandas. Saat putus hubungan aku juga tak menyadari jika aku tengah berbadan dua.
Yang kutahu, sudah beberapa bulan aku tidak datang bulan, meski aku juga tak ingat mulai kapan. Anehnya, selama itu juga aku tidak merasa mual atau muntah seperti wanita hamil pada umumnya. Aku tetap berkegiatan seperti biasa, sampai suatu hari aku menyadari perutku makin membuncit. Waduh, pikirku. Aku hamil!
Jelas aku bingung dan panik. Bagaimana jika orangtuaku tahu? Kendati jarang pulang, bagaimana aku menjelaskan siapa bapak anak ini jika nanti si bayi lahir? Bekerja pun aku tak tenang. Bagaimana jika majikanku tahu dan memecatku? Padahal aku baru 5 bulan kerja di sini.
Untuk menutupi kehamilanku, aku selalu memakai baju yang longgar. Beruntung badanku mungil dan kehamilanku tak begitu menonjol sehingga tak ada yang curiga. Bahkan Y sekalipun tak tahu aku berbadan dua. Untungnya lagi, sampai aku hamil tua tak pernah sekalipun aku sakit, mual atau muntah.