Teganya Ibu Sayat Bayi Sendiri (1)

By nova.id, Selasa, 3 April 2012 | 23:36 WIB
Teganya Ibu Sayat Bayi Sendiri 1 (nova.id)

Sungguh aku tak membenci anak yang tumbuh di dalam perutku. Tapi aku juga tak bisa berkata aku menyayanginya sepenuh hati. Jangankan memikirkan gizi atau perkembangannya setiap bulan. Yang ada, setiap hari aku memutar otak, bagaimana nanti aku harus menutupi ini semua.

Teganya Ibu Sayat Bayi Sendiri 1 (nova.id)

"Bayi lelaki tampan inih hingga saat ini menunjukkan perkembangannya yang baik dan tidak rewel selama dirawat di RS Permata Cibubur. (Foto: Laili/NOVA) "

Tak Henti Menangis

Rasa takut dan bingung ini akhirnya kusimpan sendiri. Aku bahkan tak berusaha memberitahu A tentang calon anaknya yang kukandung. Padahal kami masih berhubungan lewat telepon, meski sudah sebatas teman. Setiap dia menelepon, kami mengobrol seakan-akan tak terjadi apa-apa. Aku malu dan takut dia marah. Lagipula, aku memang tergolong pendiam. Aku tak suka megumbar kegelisahanku kepada sembarang orang.

Selama mengandung, aku juga tak pernah membayangkan akan melahirkan di mana atau dibantu siapa. Yang memenuhi pikiranku, justru bagaimana caranya melahirkan tanpa diketahui siapapun.

Suatu hari aku diminta majikan untuk membantunya mengurus anaknya di Komplek Multifungsi, Cikeas. Saat itu aku sudah hamil tua. Saat sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seluruh tubuhku terasa pegal. Apalagi di punggung bagian bawah. Belakangan aku baru tahu kalau itu yang namanya kontraksi.

Esok paginya, sekitar pukul 03.30 perutku rasanya mulas seperti mau buang hajat. Pinggangku sakit sekali, juga terasa sedikit panas.  Lalu kuseret kakiku ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah majikan. Aku pun mengejan. Deg! Betapa kaget aku ketika yang keluar adalah bayi yang merah bercampur darah. Tangisan bayi itu menyadarkanku. Sontak aku ketakutan dan panik.

Kutarik sisa ari-ari yang masih menggantung dengan tangan, lalu buru-buru kubersihkan darah yang tercecer. Si bayi terus saja menangis, membuatku semakin panik. Bagaimana jika majikanku terbangun dan mendengar suara tangisnya? Di tengah kekalutan itu, aku menyambar sebilah pisau dari dapur.

Aku tak tahu apa yang sudah merasuki diriku. Sungguh tak ada maksud aku membunuh bayi yang baru lahir ke dunia ini. Aku hanya ingin bayi itu berhenti menangis agar tak membangunkan seisi rumah. Sempat si bayi berhenti menangis setelah pisau mengenai kulitnya. Buru-buru aku gendong dia beserta air-ari yang masih tercecer ke kebun singkong yang terletak di belakang rumah.

Aku tak tahu apakah bayi itu bisa bertahan hidup atau tidak. Yang jelas, setelah membuang si bayi, aku kembali ke dalam rumah untuk membersihkan kaki dari lumuran darah. Lemas karena sakit dan kehabisan tenaga, aku pun tertidur di dalam kamar.

Laili Damayanti / bersambung