Geliat Kaum Perempuan Mengangkat Lurik (1)

By nova.id, Senin, 26 Maret 2012 | 00:25 WIB
Geliat Kaum Perempuan Mengangkat Lurik 1 (nova.id)

Geliat Kaum Perempuan Mengangkat Lurik 1 (nova.id)
Geliat Kaum Perempuan Mengangkat Lurik 1 (nova.id)
Geliat Kaum Perempuan Mengangkat Lurik 1 (nova.id)

"Kelompok tenun Sari Alam sering kedatangan mahasiswa yang hendak belajar tentang proses pewarnaan alami. "Kami senang didatangi siapa pun yang mau belajar, meski kami juga masih terus belajar," terang Mulyanti. (Foto: Rini/NOVA) "

Pewarna Alam

Perajin lurik ATBM juga bisa ditemui di Desa Tegalsari, Kecamatan Weru, Sukoharjo (Jateng). Menenun di desa ini ibarat napas kehidupan secara turun-temurun. Gempa bumi 2006 tentu telah meluluhlantakkan roda perekonomian para perajin tenun di desa ini. Untunglah ada program pemulihan ekonomi. Kebetulan di desa ini para perajinnya mendapatkan pendampingan dari LSM asing GTZ asal Jerman.

Alat tenun yang hancur diberi baru, sementara yang rusak spare part-nya diganti. Para perajin pun bisa kembali bekerja. "Biasanya kami memproduksi lurik selendang gendhong, serbet, dan taplak. Tapi sejak ada pendampingan, kami dilatih membuat kain bahan busana dan pelatihan pewarnaan alam yang lebih ramah lingkungan," jelas Mulyanti, ketua kelompok Sari Alam, perajin lurik berpewarna alami.

Dua kelompok yang memproduksi lurik Serat Liro dan Sari Alam, memiliki kesamaan kendala yang harus diahapi. Yakni sulitnya pemasaran dan sepinya permintaan pasca pendampingan. Sebelumnya, kedua kelompok ini bisa melakukan pameran atas dasar ajakan pihakketiga sehingga tak perlu keluar biaya transportasi dan penginapan selama pameran. Tapi kini, saat mereka harus mandiri, kesulitan itu harus mereka taklukkan sendiri. "Kalau barangnya laku banyak sih tak masalah. Tapi seringnya ikut pameran akhir-akhir ini malah sepi sekali," terang Mulyanti.

Bila kelompok Serat Liro bisa mengakali sepinya pemasaran dengan memproduksi serbet makan dan taplak, maka kelompok Sari Alam menyiasatinya dengan terus memperbanyak produksi kain selendang gendhong yang sudah jelas pasarnya dan ada yang mau menampung hasil produksinya.

Ramainya permintaan tenun, kata Mulyanti, terjadi pada 2010 saat pegawai di Jawa Tengah harus mengenakan lurik. Namun perajin tenun di desanya tak bisa memenuhi semua. Akhirnya pabrik tekstil lah yang megambil peluang itu. Untuk tahun 2011 permintaan lurik, lanjut Mulyanti, "Juga sepi meski kami sudah mengikuti sejumlah pameran di Jogja dan Semarang."

Bisa jadi karena sepi peminat, anak-anak muda di Tegalsari juga kurang bergairah belajar menenun. Kecenderungan menurunnya minat menenun, juga menjadi pengamatan desainer terkenal Ninik Darmawan. Menurutnya, menurunnya minat menenun terjadi di beberapa daerah sentra industri tenun. Padahal, kata Ninik, produk lurik bukan sekadar bersentuhan dengan aspek budaya, melainkan juga ekonomi dan sosial.

Pada zamannya, lanjut Ninik, lurik sekadar tampil untuk acara-acara budaya. Kain lurik biasa dikenakan sebagai busana abdi dalem keraton. Padahal lurik bisa dijadikan busana yang sifatnya universal setelah melalui desain khusus. "Lurik sebetulnya punya pengaruh besar pada masyarakat. Bila kini terkesan masyarakat tak berminat mengenakan lurik, karena orang tidak tahu. Andai mereka tahu dan mau mengenakan lurik, ini akan sangat berdampak pada budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat luas."

Ninik yang telah menggeluti lurik sejak 2005 dan kini tengah menyusun buku tentang perjalanan lurik. Desember lalu karya-karyanya yang bermateri utama lurik, mengundang decak kagum pencinta kain tenun. Di tangan Ninik, sepotong kain jarik lurik seharga Rp 40 ribu bisa ia "sulap" menjadi adi busana seharga Rp 3 juta, dan sebagian besar sudah laku. "Saya mendesain busana lurik jadi busana yang universal," jelasnya.

Tak berhenti sampai di situ, Ninik juga "mendirikan" pasar tiban di Kraton Ballrom Hotel Royal Ambarukmo tempatnya menggelar karya. "Lewat pasar tiban itu, saya ingin mempertemukan perajin dengan pengguna lurik. Saya juga ingin mengatakan, perajin lurik masih ada."

Rini Sulistyati / bersambung