Laris Manis Bisnis Abon Ikan Tuna

By nova.id, Rabu, 21 Maret 2012 | 23:36 WIB
Laris Manis Bisnis Abon Ikan Tuna (nova.id)

Laris Manis Bisnis Abon Ikan Tuna (nova.id)

"Foto: Rini Sulistyati/Nova "

Tuti Handoko (29) dari Yogyakarta dan Suhirto (50) dari Gunung Kidul, mengolah ikan tuna menjadi abon. Dengan label makanan sehat dan halal, produk keduanya banyak diminati. Selain meraih untung, bisnis ini juga sebagai upaya memberi nilai lebih pada hasil tangkapan nelayan dan agar masyarakat gemar mengonsumsi ikan.

Abon tuna produksi Tuti Handoko tergolong produk sehat, lantaran menurutnya, tak ditambahi penyedap maupun zat pengawet. Selain itu, kata Tuti, ikan tuna kaya asam lemak omega-3. Kandungan omega-3 pada ikan air laut, seperti tuna, 28 kali lebih banyak dibandingkan ikan air tawar. "Ikan tuna menyehatkan badan dan akan turut mendorong mencerdaskan anak-anak yang mengonsumsinya," terang Tuti.

Benarkah abon buatan Tuti tergolong produk "sehat"? "Dulu waktu masih bikin abon ikan kampung, saya masih pakai penyedap dan pengawet. Tapi perilaku konsumen Jakarta ternyata lebih mengutamakan makanan sehat. Harga mahal tak jadi masalah, yang penting produknya sehat. Jadi sejak 2008 saya tak pakai penyedap dan pengawet, soalnya produk saya kebanyakan dikirim ke Jakarta." terangnya.

Tuti mengaku, menekuni usaha abon tuna akibat ketidaksengajaan. Berawal dari hobi memasak, Tuti iseng membuat abon ayam kampung. Resepnya ia peroleh dari sang bunda yang juga sering membuat abon ayam. Hasil olahannya ternyata disukai keluarganya.

Sejak itulah Tuti mulai membisniskan abon buatannya. Bermodalkan Rp 500 ribu, Tuti membeli alat, bumbu, dan bahan baku. Hasilnya ia kemas dalam plastik transparan. "Waktu saya titipkan ke beberapa toko oleh-oleh, ternyata laku. Saya jadi melihat peluang di bisnis abon. Pelakunya tak banyak karena tak semua orang bisa bikin abon," terang Tuti yang memberi label Kenanga pada abon ikannya, sesuai nama jalan tempat tinggalnya.

Kelas Ekspor

Sambil terus berproses mempelajari pasar dan mengurus izin usaha, Tuti berinovasi mengubah kemasan. Yang semula hanya dibungkus plastik, lalu beralih ke stoples. "Kalau pakai stoples kaca, khawatir mudah pecah. Jadi saya kembali pakai bungkus plastik tapi dikemas lagi pakai karton yang sudah dilabeli. Saya sebenarnya awam di bidang kemasan ini, tapi kebetulan saya punya teman yang berbisnis di bidang percetakan, jadi bisa memberi saya banyak pilihan kemasan."

Yang menguntungkan lagi, ibunya adalah mantan karyawan BPOM Yogyakarta, sehingga bisa memberitahu cara mengurus izin usaha. "Tapi saya tetap menempuh prosedur resmi. Tempat usaha saya tetap ditinjau, produk saya juga dibawa ke laboratorium," terang Tuti seraya menyebut promosi antar teman bisa ikut memperlancar usahanya. Untuk semakin mengembangkan usaha, pada 2007 Tuti mulai berpromosi lewat dunia maya. Rupanya jalan ini bisa semakin memperluas jaringan pembelinya, terutama dari luar Jogja.

Dalam membuat abon tuna, Tuti memilih tuna dari Lombok, karena tuna tak bisa ditemukan di semua perairan Indonesia. Tuti memilih bagian daging tuna glondongan kelas ekspor berbobot 80-100 kg. "Hasil abonnya memang jauh lebih baik dibanding tuna berbobot di bawah 80 kg. Per bulan saya butuh 1 kuintal tuna segar."

Kini, Tuti telah memiliki sejumlah agen dan reseller di kawasan Jabodetabek dan sebuah kafe di Bali yang menjual produknya. "Saya jual dalam bentuk kemasan 150 gram. Ada dua rasa, original dan pedas. Bila ada yang mau beli dalam bentuk curah, boleh saja. Cuma harganya lebih mahal karena, kan, untuk dikemas dan dijual lagi."

Abon tuna Tuti pun kerap dibawa orang saat bepergian jauh, seperti umrah atau berhaji. "Pernah juga dibawa ke Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunai, Belanda, dan Jerman," terang Tuti yang juga memproduksi abon ayam, abon sapi, dan abon cabai.

Setelah sang suami ikut membantu usahanya, omset per bulan yang diraih Tuti bisa mencapai Rp 16 juta. "Promosi harus tetap saya tingkatkan karena yang namanya bisnis pasti ada persaingan, apalagi produk saya bukan hanya abon tuna. Tapi persaingan itu wajar. Mau tak mau kami dituntut untuk terus berinovasi, memperbaki mutu, dan tetap menjaga kualitas," tutupnya.