Derita Desy, Mau Rambut Lurus Malah Nyaris Gundul (1)

By nova.id, Selasa, 20 Maret 2012 | 23:36 WIB
Derita Desy Mau Rambut Lurus Malah Nyaris Gundul 1 (nova.id)

Derita Desy Mau Rambut Lurus Malah Nyaris Gundul 1 (nova.id)
Derita Desy Mau Rambut Lurus Malah Nyaris Gundul 1 (nova.id)

"Inilah krim rebonding yang jadi sumber malapetaka dan membuat rambut Desy rontok Jumat (9/3). (Foto: Laili Damayanti/NOVA) "

Bukan Pabrik

Dari salah satu petugas bagian layanan konsumen BPOM Surabaya diperoleh penjelasan, krim pelurus rambut Du absah adanya meski, "Di kemasan tertulis Cosmetics U.S.A tapi nyatanya dibuat di Surabaya." BPOM mencatat Du berada di bawah lisensi PT USA, Surabaya. "Kami pernah mendatangi alamat itu dan ternyata itu industri skala rumahan, bukan pabrik," ujar sang petugas.

Ia juga berujar, laporan atas produk Du baru diterima oleh BPOM Surabaya dari Nanik seorang. "Bisa saja kasus ini hanya kasus alergi semata atau kulitnya yang bermasalah. Buktinya, di daerah lain tak ada yang bermasalah," kilah sang petugas BPOM.

Saat disambangi ke alamat yang disebutkan, tak ada rumah bernomor seperti yang disebutkan si petugas. Nomor telepon "pabrik" yang tercatat di BPOM Surabaya itu pun, tak diangkat saat dihubungi.

Jelas, Nanik tak mau disalahkan begitu saja. Apalagi, katanya, ini bukan kali pertama ia me-rebonding rambut Desy dengan krim Du. Bahkan, dengan merek yang sama, Nanik yang juga buka kursus ini mengajarkan tata cara rebonding kepada ratusan muridnya. "Saya ini guru salon, tahu teori dan cara melakukan rebonding. Jadi, tragedi ini bukan karena saya salah prosedur!" tuturnya keras.

Lapor & Fasilitator

Apa yang dialami Desy mungkin juga pernah dialami konsumen lainnya. Terlebih kini di pasaran banyak dijual produk kosmetik 'abal-abal' yang beredar bebas. "Sebagai konsumen, mau tak mau kita harus cerdas," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, SH. Artinya, sebelum membeli sebuah merek, jangan pernah lupa membaca kemasannya. Setidaknya, harus tertera asal dan alamat produsennya. "Jadi, kalau ada masalah, konsumen bisa menghubungi produsen untuk minta pertanggungjawaban," ujar Sudaryatmo.

Ia juga mengingatkan, tak semua kosmetik yang beredar di pasaran memenuhi standar penulisan label. Masih banyak produk impor yang menggunakan bahasa negara asal sehingga sulit dipahami kandungan dan efek sampingnya. "Setelah CAFTA pada 2010 lalu, banyak barang dari negara ASEAN yang masuk ke Indonesia tanpa proses uji lab," jelas Sudaryatmo. "Ini berarti kontrol pemerintah sangat longgar. Tak ada yang bisa menjamin keamanan kosmetik yang beredar."

Kendati demikian, jika konsumen mengalami kerugian karena menggunakan suatu kosmetik tapi tak bisa menghubungi produsen barang tersebut, YLKI bersedia memfasilitasi. "Kalau ingin membuat pengaduan bisa datang langsung ke kantor, lewat surat, telepon, atau jejaring sosial. Tapi kalau ingin menindaklanjuti, konsumen harus datang langsung atau mengirim surat pada kami," lanjut Sudaryatmo. Adapun Nanik, hingga saat ini belum mengadukan keluhannya ke YLKI. "Jika konsumen mau membawa ke jalur hukum, itu hak mereka. Kami fokus ke aspek perdata."

Laili, Ade Ryani, Amir Tejo / bersambung