Kudapan Solo yang juga mudah ditemui adalah intip goreng. Dan intip goreng Mbah Sibun merupakan favorit banyak orang. Saat mengunjungi kios kecilnya di Pintu Utara Pasar Gede, pembeli tampak mengantre. Tak hanya penduduk lokal, tapi juga para turis yang tengah berlibur di Solo.
Awalnya Mbah Sibun berjualan sayur mayur pada 1945. Ia pun masih belum punya kios dan hanya menggelar dagangannya di pinggiran pasar. Sejak 1990, ia mulai berdagang di kios sendiri dan menjual intip goreng yang renyah. "Modalnya cuma niat dan tindakan," ujar Slamet, putra pertama Mbah Sibun.
Tumpukan intip di kiosnya tampak menggunung. "Intipnya dikirim dari desa-desa. Seperti Kartasura, Klaten, Mojolaban, dan masih banyak lagi," sahut Nurbani istri Slamet. Jika persediaan sudah habis, pemasok akan datang seminggu sekali.
Pembeli pun tak hanya suka intip yang sudah matang, tapi juga yang masih mentah. "Kalau pas ramai bisa habis 25 kilo sehari," tambahnya. Tapi jika sedang sepi, paling habis 5 kg dalam sehari. Biasanya pembeli ramai di musim liburan dan hari-hari besar.
Dalam berdagang, Mbah Sibun memang dibantu Slamet dan Nurbani. Slamet bertugas menggoreng intip di wajan besar, sedangkan Nurbani melayani pembeli. Untuk 0,5 kg intip goreng harganya Rp 17 ribu, baik yang asin maupun manis. Intip manis dibubuhi gula merah yang dibumbui asam, jahe, ketumbar, bawang putih, dan sedikit garam. Sedangkan yang asin hanya dilumuri bawang putih dan garam. Untuk menggoreng intip sedemikian banyak, setiap harinya dibutuhkan 9-10 kg minyak goreng.
"Intip kami beda dengan yang lain. Ini intip asli dari kerak nasi. Sementara yang dijual di luar kan nasi yang dicetak lalu di-pan," jelas Nurbani. Jadi tak heran jika banyak pembeli rela antre, bahkan tak mau beli intip lain selain intip Mbah Sibun yang telah berusia 75 tahun. Intip favorit ini juga hanya bisa didapatkan di kiosnya karena tak dititipkan di toko-toko lain.
Kartika Santi