Usai mengantongi uang Rp 200 juta, kelima pelaku kabur ke rumah AR untuk membagi hasil rampokan. Ketika itu, ND mengaku menerima bagian Rp 62 juta. "Habis itu saya jemput anak kedua saya yang sedang latihan voli." Uang bagiannya, katanya, dipakai untuk bayar utang sekitar Rp 18 juta. "Sisanya saya jadikan modal usaha kredit tas, pakaian, dan sepatu. Sebagian lagi untuk makan sehari-hari. Sekarang sudah habis semua."
Ketika ND dan putrinya kembali ke rumah mereka yang memang berdempetan dengan Kantor Pos Cipondoh tersebut, warga sudah heboh dengan penemuan mayat Rachmat. "Saya langsung menangis karena enggak menyangka Pak Rachmat meninggal. Saya takut tertangkap," katanya. Apalagi, "Pak Rachmat baik pada saya dan keluarga. Kami dibolehkan menempati rumah dinasnya."
Perampokan itu, kata ND, dirancangnya karena terlilit utang. "Saya banyak utang di sana-sini sampai enggak tahu lagi berapa total utang saya," ujar ND yang sebetulnya diminta Rachmat untuk menjaga uang ratusan juta yang akan dipakai sebagai BOS (Bantuan Operasional Sekolah). "Sudah sering di lemari besi diisi uang ratusan juta tapi entah mengapa kali ini saya khilaf."
Beberapa tahun belakangan, lanjut ND, perekonomian keluarganya memang sangat parah. Gaji suaminya, Irwansyah, yang bekerja sebagai sopir di Kantor Pos Tangerang, habis terpotong utang. "Sebulan saya hanya terima Rp 500 ribu. Mana cukup?"
Biasanya, ND ikut membantu keuangan keluarga dengan berdagang kecil-kecilan. "Tapi jalannya kurang bagus karena ada saja yang telat bayar, kalaupun ada untung, habis begitu saja untuk biaya sehari-hari. Sejak dua tahun lalu, kami diperbolehkan tinggal di Kantor Pos Cabang Cipondoh untuk menjaga keamanan dan kebersihan."