Entah karena apa, ia hanya bertahan 1,5 tahun di Bogor. Ia lalu kembali ke kampung dan bekerja lagi di sawah atau terkadang jadi buruh tani. Namun tak lama, ia kembali bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Joko di Desa Sonopatik, Berbeg, Nganjuk. Ia di sana hingga peristiwa pembunuhan itu terjadi.
Aku sebenarnya tak tahu bagaimana kisahnya sampai ia bisa bekerja di rumah Pak Joko. Aku tak pernah bertemu langsung dengan Pak Joko, majikan Mujiyanto. Tetapi aku dengar, suatu ketika pada saat aku tak di rumah, Pak Joko yang seorang guru SMP itu pernah datang ke rumah bersama Mujiyanto.
Sejak bekerja bersama Pak Joko dua tahun lalu, Mujiyanto jadi jarang pulang. Kalaupun pulang, biasanya bawa makanan kecil untuk ibunya dan keluargaku yang lain. Padahal, meski ia tak bawa apa-apa pun aku sudah senang karena ia mau pulang. Dan yang penting, saya anggap ia sudah bisa mengurus dirinya sendiri.
Tapi alangkah terkejutnya, ketika beberapa waktu lalu, salah seorang anakku memberi kabar yang dilihatnya dari surat kabar dan teve, Mujiyanto ditangkap polisi karena diduga melakukan pembunuhan kepada beberapa orang dengan meracuni korbannya. Yang membuat aku semakin terkejut, anakku juga ternyata mengidap kelainan seksual atau gay.
Selama ini aku tak pernah mengetahui ia pernah berpacaran dengan perempuan mana pun. Tapi aku jelas sangat heran bila ia punya kelainan seperti itu. Untuk membuktikan kebenaran itu semua, beberapa hari lalu aku berusaha menemui Mujiyanto, ketika ia hendak diperiksa kejiwaan di RS Bhayangkara ganjuk. Pada pertemuan itu, dengan berlinang air mata ia meminta maaf kepadaku atas kesalahan yang mengakibatkan diriku dan ibunya malu. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali meminta ia bersabar dan tetap mengikuti proses hukum.
Ya, kalau memang ia harus menerima hukuman terberat sebagai ganjaran atas perbuatannya, apa mau dikata, aku tak bisa apa-apa...
Gandhi Wasono M.