Rasanya bagai disambar petir. Itulah yang aku rasakan ketika mendapat kabar Mujiyanto disangka sebagai pelaku pembunuhan sadis dengan cara meracuni para korbannya. Perasaan antara percaya dan tidak, terus menggelayut dibenakku. Perasaan serupa juga dirasakan istriku, Pinartun, yang mengasuhnya sejak bayi. Karena itulah istriku sampai saat ini sangat syok dan tak mau menemui siapapun.
Siapa menduga, selama aku merawatnya sejak bayi sampai ia dewasa sama sekali tak terlihat ada tanda-tanda ia suka melakukan kekerasan. Memang, Mujiyanto bukanlah darah dagingku sendiri, tapi karena aku sudah mengasuhnya sejak ia berusia 35 hari, jadi aku tahu persis watak dan tabiatnya.
Masa lalu Mujiyanto memang kurang bahagia. Sejak bayi ia tak pernah melihat siapa bapak dan ibu kandungnya. Lantas, bagaimana Mujiyanto sampai bisa berada dalam asuhanku, itu memang ada ceritanya. Dulu, setelah Mujiyanto dilahirkan oleh ibunya, Pasri, di usia 35 hari ia mengalami panas tinggi.
Melihat anaknya sakit sementara tak punya berobat, kedua orangtua Mujiyanto, Pasri dan Lamsuki, lalu berujar, siapa saja yang mau membantu biaya berobat, maka tak keberatan Mujiyanto boleh diambil untuk dirawat. Bayangkan, orangtua Mujiyanto sampai membuat "sayembara" begitu mengingat mereka dari keluarga sangat miskin. Jangankan berobat, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja susah.
Sebagai tetangganya, aku tak tega melihat kehidupan Lamsuki dan Pasri yang kesulitan merawat Mujiyanto. Setelah berembuk dengan istriku, Mujiyanto lalu aku ambil dan aku bawa berobat ke bidan desa. Alhamdulillah, sejak itu panasnya menurun dan beberapa hari kemudian kembali sehat.
Setelah sehat Mujiyanto diserahkan oleh orangtuanya kepadaku agar aku dan istriku bisa mengasuhnya dengan lebih baik. Tentu saja bayi Mujiyanto aku terima dengan hati gembira. Meski kala itu aku sudah memiliki seorang anak kandung, tapi aku dan istri tak pernah membeda-bedakan mereka. Aku tetap memberi kasih sayang penuh kepadanya, layaknya kepada anakku yang lain.
Nasib orangtua Mujiyanto memang kurang beruntung, sekitar dua tahun kemudian Pasri meninggal dunia, tak lama setelah melahirkan anak keduanya. Sejak kematian Pasri, Lamsuki kembali ke kampungnya di daerah Pagu, dan sejak itu kamipun putus hubungan dengannya.
Meski aku juga tergolong dari kelas ekonomi biasa-biasa saja, aku berusaha mendidik Mujiyanto sebaik mungkin, termasuk soal pendidikan. Ketika sudah cukup usia, aku masukkan ia ke TK kemudian dilanjutkan ke SD. Sebenarnya setamat SD aku ingin sekali Mujiyanto melanjutkan ke SMP, karena aku dengar dari guru-gurunya Mujiyanto tergolong pelajar yang cukup pandai.
Tapi entah mengapa selepas SD ia tak mau lagi melanjutkan sekolah, dengan alasan ingin membantuku bekerja di rumah. Meski sempat aku paksa, tapi ia bergeming pada pendiriannya. Karena sudah menjadi keinginannya, aku tak bisa memaksa. Memang benar, seperti yang dijanjikan, untuk mengisi waktu luangnya, saban hari ia membantuku di sawah atau mencari rumput untuk pakan sapi.
Namun, ada satu hal yang aku lihat berbeda dari Mujiyanto dibandingkan anak sebayanya. Ia memiliki watak sangat tertutup dan sama sekali tak mau bergaul dengan siapapun. Jangankan dengan teman sebaya, bertandang ke rumah tetangga sebelah pun ia tak pernah lakukan.
KOMENTAR