Bongkar Resep Warisan Sebelum Dikalengkan (2)

By nova.id, Sabtu, 28 Januari 2012 | 22:54 WIB
Bongkar Resep Warisan Sebelum Dikalengkan 2 (nova.id)

Bongkar Resep Warisan Sebelum Dikalengkan 2 (nova.id)
Bongkar Resep Warisan Sebelum Dikalengkan 2 (nova.id)

"Gudeg Bu Lies menjadi salah satu gudeg yang paling dicari banyak orang untuk dijadikan oleh-oleh. Karenanya, Lies berharap bisa mendirikan pabrik untuk mengalengkan gudegnya. (Foto: Rini) "

Gudeg Bu Lies BIKIN PABRIK SENDIRI

Hati Hj. Lies, pemilik empat gerai Gudeg Bu Lies gundah tiap kali ditanya konsumennya yang hendak membawa gudegnya ke luar kota, ''Bisa tahan berapa hari gudegnya?'' Pertanyaan yang nyaris tiap hari dilontarkan pelanggan itulah yang membuatnya penasaran, harus dengan cara apa membuat gudegnya tahan lama.

Akhirnya muncul ide untuk mengalengkan produknya. ''Setelah tanya ke sana ke mari akhirnya bertemu orang LIPI. Lalu saya ke sana membawa produk gudeg saya yang ciri khasnya kering, cokelat, dan gurih-manis,'' terang Lies. Benar saja, tak berapa lama gudegnya bisa dikalengkan. Rata-rata per hari bisa mengalengkan 500 kaleng. Sayangnya tak bisa rutin. ''Dibatasi oleh LIPI. Saya tidak tahu sebabnya. Itu, kan, kantor pemerintah, ya. Sebenarnya andai LIPI mau kerjasama dengan banyak UKM pastinya bermanfaat sekali.''

Yang mengejutkan Lies, sepanjang musim liburan sekolah Juli lalu, 1.500 kaleng ludes terjual. Dan selanjutnya permintaan per hari bisa mencapai 200-300 kaleng. Sayangnya, Lies kini harus kecewa dan menahan keinginnnya meningkatkan produksi gudeg kaleng. ''LIPI sudah tidak bisa menerima gudeg saya lagi. Katanya kalengnya habis. Ya, kecewa juga, sih, padahal pelanggan mulai banyak yang minta gudeg kaleng,'' tutur Lies yang terakhir mengalengkan gudegnya di LIPI pada Ramadan tahun lalu.

Sadar Inovasi

Sebagai pedagang gudeg, Lies mengaku sadar arti pentingnya inovasi dari sebuah produk. Karena gudeg yang dijualnya mengunakan kendil dan besek, hanya tahan dua hari. ''Kalau dalam kaleng, kan, bisa tahan lebih dari satu tahun. Makanya saya ingin punya pabrik pengalengan gudeg sendiri agar tidak tergantung pada LIPI. Saat ini saya sudah punya tempat dan dalam proses mengurus izin pembangunannya, serta mengusahakan pembelian alat-alat pengalengan.''

Beruntung, di Jogja ada yang menjual mesin pengalengannya. Kendalanya cuma satu, di Jogja tak ada yang jual kalengnya. "Akhirnya saya dapat dari Surabaya, meski lebih besar sedikit dari yang dipunya LIPI. Untuk beli kaleng ini harus dalam jumlah 100 ribu kaleng. Nah, lagi-lagi kendalanya saya belum punya tempat menyimpan kaleng yang steril. Tanah yang saya punya baru bisa untuk pengalengan dan pengepakan. Masih butuh tanah untuk gudang.''

Satu kaleng gudeg Bu Lies saat ini berisi gudeg, telur, dan sambal kerecek, plus tempe. Bila ditotal beratnya 200 gram. ''Ternyata, kalau mau maju harus dicambuk. Kalau kepepet tidak punya pabrik, ya, harus mendirikan pabrik. Saya sudah punya satu set mesin untuk mengalengkan gudeg. Kapasitasnya besar dan bisa beroperasi 24 jam. ''Saya maunya punya lisensi tak cuma berisi gudeg, tapi juga berisi sayur brongkos, rendang, atau lainnya.''

Bikin Penasaran

Bila semula orang luar kota banyak yang meminta gudeg dalam wadah kendil atau besek, kini, kata Lies, mulai beralih minta gudeg kaleng. ''Yang dari luar kota sudah mulai minta gudeg kaleng karena tidak penuh risiko dan penasaran dengan isinya dan rasanya. Rasanya lebih enak kok, tidak berubah. Malah pernah ada orang dari Singapura dua kali datang beli gudeg kaleng. Ada juga yang datang mengadu peruntungan dengan membawa beberapa kaleng untuk dijual lagi," jelasnya

Rencananya, Lies akan memroduksi dua jenis gudeg kaleng. Untuk konsumen vegetarian dan non vegetarian. "Yang vegetarian tidak pakai ayam dan telur. Cukup gudeg dan areh saja. Dua-duanya tidak pakai penyedap tambahan dan pengawet. Saya pakai bumbu alami dan tradisional. Warna merah atau cokelatnya berasal dari gula merah, pedasnya dari cabe, gurihnya dari garam beryodium. Pak Asep dari LIPI juga membuat penelitian doktornya pakai gudeg saya, lho. Pak Asep bilang, gudeg saya tidak terlalu manis dan bagus kualitasnya.''

Diakui Lies, memang tidak mudah mendirikan pabrik pengalengan gudeg. Untuk bangunan pabriknya saja harus memenuhi berbagai macam syarat. ''Tapi tidak apa-apa. Semua akan saya lakoni. Kalau mau maju memang harus dicambuk dulu,'' tegasnya.

Tak Diminati Orang Asing

Meski di kawasan kampung Wijian berderet penjual gudeg, namun tidak semua pedagang tahu bahwa kemasan gudeg kini sudah bisa diinovasi dalam kemasan kaleng. Karena itu, gudeg kaleng tak bisa dijumpai di setiap warung gudeg di kawasan ini. Mama Erna, pemilik Rumah Makan Gudeg Selatan, Plengkung, Wijilan, misalnya, mengaku tak tertarik mengalengkan gudegnya, kendati gudeg kaleng lebih praktis dibawa ke luar negeri.

''Ah, saya hidup lama di Jerman. Suami saya orang Jerman. Karena itu saya yakin orang luar negeri tidak tertarik makan gudeg kaleng. Wisatawan datang ke Jogja, kan, ingin mencari yang serba tradisional. Mereka pasti lebih suka gudeg dibungkus daun atau besek," tegasnya.

Sama halnya dengan Ny. Siska, pemilik Rumah Makan Gudeg Hj. Ahmad di Barek, Yogyakarta. Ia mengaku selama ini hanya mendengar ada gudeg dikalengi. ''Yang ada dalam benak saya, kalau dikalengkan berarti pakai zat pengawet, ya? Kalau tidak, bagaimana bisa tahan lama?'' tanya Siska soal gudeg dalam kemasan kaleng.

Berhubung konsumennya selama ini lebih banyak yang memesan dalam kemasan besek atau kendil, Siska pun mengaku belum tertarik mengemas gudegnya dengan kaleng, lantaran ingin mempertahankan tradisi. Cucu Hj. Ahmad ini mengaku, gudegnya yang kering dan tak terlalu manis sering dibawa para pelanggannya hingga ke luar negeri. Terutama para dosen yang akan melanjutkan sekolah ke Jepang, Jerman, atau negara lainnya.

''Biasanya mereka bawa gudeg dengan boks khusus makanan. Setibanya di luar negeri dimasukkan ke dalam freezer. Bila hendak makan tinggal ambil seperlunya, lalu dihangatkan. Dalam kondisi normal pun, tanpa masuk kulkas, gudeg kami tahan sehari semalam, kok. Selanjutnya, ya, harus dipanaskan lagi."

Gudeg Hj. Ahmad mulai dijual sejak 1960-an. Awalnya, Bu Ahmad hanya melayani para pekerja bangunan Gedung Fakultas Geografi UGM, yang saat itu tengah dibangun. Lalu para dosen UGM dan mahasiswa ikut-ikutan membelinya. Kendati demikian, kata Siska, nama Gudeg Hj. Ahmad mulai populer ketika Presiden Soeharto mulai berkuasa. Orang nomor satu ini tergolong maniak makan gudeg buatan Hj. Ahmad. "Kalau sekarang, ya, pejabat-pejabat seperti Pak Agum atau orang Istana Kepresidenan Jogja yang sering memborong gudeg. Katanya buat dibawa ke Istana Negara untuk oleh-oleh Pak SBY.''

Rini Sulistyati