Hubungan yang kami bina sejak berpacaran hingga menikah memang kami jalani dengan penuh sukacita. Saya senang bisa berpacaran bahkan menikah dengan Tanti. Sebab, sebelumnya saya dikenal sebagai pria pendiam dan pemalu. Bahkan sebelum berpacaran dengan Tanti, saya tidak pernah dekat denagn perempuan mana pun. Proses perkenalan saya dengan Tanti pun tak lepas dari campur tangan sahabat saya, Daniel.
Suatu ketika, saya pernah bercerita kepada Daniel, saya suka seorang perempuan bernama Tanti, kakak teman kerja saya. Saya memang tidak berani mengutarakan isi hati saya langsung kepada Tanti. Akhirnya Daniel membantu saya mencarikan informasi soal Tanti. Selanjutnya, Daniel juga lah yang menyampaikan kepada Tanti bahwa saya menyukainya.
Hingga suatu hari, Daniel mengajak Tanti dan saya berkaraoke bersama di bilangan Jl. Pasar Besar, Surabaya. Nah, mulai saat itu hubungan saya dan Tanti berlanjut hingga berpacaran. Selama dekat dengan Tanti, saya merasa ia adalah sosok perempuan yang setia. Kesetiaan Tanti dibukitkan lewat usahanya mengajari saya mengendarai motor. Ya, saya memang tak bisa mengendarai motor.
Setiap Sabtu pagi Tanti menjemput ke rumah di Tambak Asri untuk mengajari saya naik motor di sekitar Pantai Kenjeran. Proses belajar motor itu berlangsung sekitar tiga bulan sampai saya benar-benar bisa. Kesungguhan Tanti pun dibuktikan lewat usahanya mempersiapkan segala keperluan pernikahan kami. Sebagai pemeluk Katolik, tentu kami harus melewati proses cukup panjang. Mulai dari mendaftarkan, penyelidikan yang dilakukan pihak gereja, hingga latihan sebelum melangsungkan pernikahan.
Bahkan urusan biaya, katering, dan desain undangan pun dirancangnya sendiri, dengan meminta pertimbangan saya. Dengan kata lain, semua kesulitan kami lalui bersama. Sampai saya berpikir, kenapa ada orang bercerai, sementara mengurusi pernikahan saja sudah sulit bukan main.
Amir Tejo / bersambung