Kendati demikian, bungsu dari enam bersaudara ini senantiasa menjadikan ayah dan ibunya, Solichin dan Siti Aminah, sebagai inspirator dalam kemajuan kehidupan kariernya. "Didikan yang saya terima sejak kecil sangat berpengaruh dalam kehidupan saya di kemudian hari. Orangtua saya dulu mengajarkan ke semua anaknya, kalau mengerjakan tugas harus sampai selesai. Jika belum selesai, belum bisa lepas dari tanggung jawab. Akhirnya, setelah saya besar, hal itu sudah menjadi kebiasaan," kenangnya.
Budi pun mengakui, orangtuanya memiliki sistem pengasuhan yang berbeda dari orangtua pada umumnya. Kedua orangtuanya menekankan untuk selalu menyelesaikan tugas sekolah dan rumah terlebih dahulu, sebelum diizinkan bermain. Meski terasa berat melakoni kedisiplinan cukup tinggi di kala bocah, beranjak dewasa justru hasil didikan itu memberikan hikmah bahwa bekerja bukan suatu keharusan, melainkan menjadi kebiasaan. "Apalagi yang saya kerjakan saat ini bukan sesuatu yang tidak saya senangi. Jadi saya selalu merasa enjoy."
Perjuangan Budi untuk mencapai bidang pendidikan dan pekerjaan yang berhasil baik menjadi semakin nyata di Yogyakarta. Jalannya pun mulai terbuka ketika ia memperoleh tawaran pekerjaan paruh waktu sebagai kapster di Salon Hanna, Jl. Taman Siswa. Pada tahun 1981 hingga 1983, selama bekerja sebagai kapster, Budi menerima honor berkisar antara Rp 50 ribu hingga 100 ribu. Honor itu, menurut Budi, lebih banyak ia gunakan untuk mencari hiburan layaknya anak muda pada zamannya.
Namun, ia teringat satu pengalaman yang menjadi pelajaran berharga buatnya ketika masih menjadi kapster. "Di suatu pagi, di luar jam kerja, saya lupa punya janji dengan tamu. Akhirnya dia marah-marah karena saya datang telat. Peristiwa itu menjadi guru paling berpengaruh buat diri saya, karena setelah itu saya jadi sangat menjaga janji dengan para tamu saya."
Tak berhenti sampai di situ, setelah merasa cukup lama menjadi kapster dan mendapat ilmu selama bekerja di salon, Budi pun tergerak untuk lebih mengembangkan diri dengan berniat membuka salon sendiri. Untuk merealisasikan harapannya, ia menjual sepeda motornya. Hasil penjualan sebesar Rp 450 ribu ia jadikan modal mengontrak rumah untuk dijadikan salon sekaligus tempat tinggalnya.
"Jadi, di awal membangun usaha salon saya harus berkorban banyak waktu untuk bersenang-senang. Bayangkan saja, saya selalu bangun tidur setiap pukul 04.00. Bersih-bersih dan menyiapkan kebutuhan salon. Setelah karyawan datang, baru saya pergi kuliah. Sepulang kuliah, saya juga kerja di salon," kisah Budi yang ketika itu sudah dibantu dua orang karyawan.