Dua Pemuda Itu Pulang Tinggal Nama

By nova.id, Selasa, 13 Desember 2011 | 10:12 WIB
Dua Pemuda Itu Pulang Tinggal Nama (nova.id)

Dua Pemuda Itu Pulang Tinggal Nama (nova.id)

"Foto Soleh dipegang ibunya (Foto: Debbi) "

Dua warga Indonesia  jadi korban baku tembak di Yaman. Mereka adalah Muhammad Saleh bin Samsul Bahri alias Abu Soleh (30) warga Kabupaten Batubara dan Jamiri Abdullah alias Abu Haidar warga Aceh Tamiang.

"Anak saya selalu bilang dia cuma belajar bagian agama. Sebenarnya sudah satu bulan konflik disana. Tapi, Amad  panggilan anak saya sehari-hari, tak pernah memberi tahu saya. Kami orangtuanya  hanya tahu disana tak terjadi perang,"ujar  ibunda Mauhammad Saleh, Choirul Bariah (51) didampingi Syamsul Bahri TH (61).  

Rabu (23/11) Amad sempat sms pada keluarganya di Batubara. "Tapi entah kenapa sms-nya tak dibalas. Isi sms minta agar emak mendoakan dia agar sehat. Jadi, kami heran,apa disana dia sakit. Saat Amad balas sms nya dia bilang tak sakit cuma minta didoakan saja agar sehat. Kalau tahu begini saya akan mendoakan dia sebulan lamanya"ujar ibu empat anak ini.

Puncaknya, Jumat (25/11), Amad telepon mengabarkan  sehat-sehat saja. "Isi sms-nya lagi-lagi  minta didoakan agar sehat. Mungkin,itulah sms dia yang terakhir, karena Sabtu (26/11) Ahmad sudah meninggal. Kami dapat kabar dari orang Sunnah dikampung saya. Sebagai ibu, tentu saja saya tak lantas percaya,sebab sehari sebelumnya dia sms kami kok. Tentu saja kaget dan panik, apalagi suami saya," ujar Choirul yang segera telepon ke Yaman dan dapat kabar positif Ahmad meninggal dihantam oleh mortir yang meluncur seperti roket saja."

Kepergian Ahmad mengejutkan semua warga Batubara. "Ahmad adalah orang yang ditunggu-tunggu di kampung kami.  Semua menunggu kepulangan dia.  Saya selalu ditanya-tanya orang, kapan Ahmad pulang. Dia adalah Ustad dan guru bagi warga di kampung kami, " ujar Chairul menjelaskan rencana Ahmad pulang ke Indonesia akhir Desember tahun depan.  

Ahmad lahir di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batubara, Sumut (sekitar 200 km dari Medan). "Ahmad adalah anak yang sholeh dikampung kami. Anaknya pintar, ganteng dan kulitnya berwarna putih. Selain sekolah di SMK Sei Jangkar, sehari-hari kerjanya selalu mengaji. Tamat SMK, dia pergi ke Pekanbaru, sempat tiga tahun disana. Lalu, dia ke Jakarta selama 8 bulan. Mungkin, karena cita-citanya ingin jadi Ustad, dia mendaftar sendiri dan dapat panggilan dari Yaman. Kami yang memberangkatkan dia dari uang saya sendiri, bukan beasiswa," ujar Choirul. Ahmad dapat visa 5 tahun belajar Tahlim Kitab Kuning.

Setelah ditelepon Dubes delapan kali barulah keluarga yakin Ahmad sudah 'tak ada'.  " Sebenarnya sudah 1 bulan Pesantren itu dikepung. Sudah sempat tak punya makanan, kurma busuk pun dimakan asal makan, Si'ah menguasai medis, obat-obatan sudah dikuasai si'ah dan 40 titik pengepungan, siapa saja keluar dan masuk dijaga. Lampu hidup cuma 2 jam satu hari, jadi orang ini sudah dikepung. Nah, saat itulah Ahmad berani megang senjata, walau pun senjata itu berat."

Sekarang, setelah Ahmad meninggal, pihak keluarga mulai berpikir bagaimana cara membawa jazadnya ke Batubara. "Saya mulai berpikir, betapa lamanya harus mengirimkan jazadnya kesini. Bahkan, badannya harus di balsem. Apalagi, jasad Ahmad juga didapati tak utuh. Saya ingin jika Ahmad dikebumikan di Yaman, kuburannya harus dijaga. Itu saja harapan saya," ujar Choirul.

Sementara itu, orangtua Jamiri Abdullah (24), Abu Haidar,Suratman (71) dan Saminah (60) mengaku kaget mendengar musibah sang anak.

"Pertama kali saya dengar musibah ini dari pak Rusdi, tetangga dekat rumah kami di Desa Kesehatan, Kecamatan Karangbaru, Aceh Tamiang (sekitar 200 km dari Medan), sekaligus teman pengajian Jamiri di Tanjung Karang.  Awalnya pak Rusdi masih belum berani menyampaikan kabar duka itu pada keluarga kami. Bahkan, dia harus sampai dua kali datang kerumah kami ini menyampaikan kabar itu," ujar Saminah, ibunda Jamiri.

 Pak Rusdi inilah yang dulu membawa Jamiri ke Banda Aceh setelah tamat SMA tahun 2005, untuk sekolah Pesantren disana selama dua tahun. Pergi ke Banda Aceh, Jamiri mengenderai honda dan cuma bawa duit Rp 600 ribu. Kemudian dari Aceh, Jamiri melanjutkan ke Jakarta. Dia sempat setahun tinggal di Jakarta. Dan belajar di Gontor belajar menghapal Al Quran. Dia juga bisa menghapal hingga 30 jus. Itulah yang buat dia dapat rangking pertama dan segera diurus pihak duta besar di Jakarta untuk segera diterbangkan ke Yaman tahun 2007.