Yang lebih membuat keluarga ini terpukul, Zirmansyah adalah Kepala Pusat Mata Kuliah Umum dan Pengawasan Etika (PMKUPE) di UAI. "Saya kerja di situ, malah anak saya yang jadi korban. Saya ikut mendirikan UAI bersama 12 orang lainnya tahun 1999. Kejadian ini seperti tamparan keras bagi saya." Ibunda Yoga pun amat menyayangkan tindakan senior Yoga. "Brutal dan kejam sekali mereka. Masak, sih, sudah jadi mahasiswa kesalahpahaman saja tak bisa diselesaikan baik-baik?" kata Anis yang sudah punya firasat tak enak sebelum kematian Yoga.
"Paginya, waktu pamit kuliah, dia sampai dua kali cium tangan. Saya candai dia 'Enggak apa-apa sering-sering salam, ngurangin dosa'," ujar Anis yang disambut tawa Yoga. Sore hari, kata Anis, ia merasa amat gelisah. "Mungkin saat itu Yoga sedang berteriak kesakitan dan di dalam hatinya minta tolong."
Setelah Yoga tiada, ayah dan ibunya baru tahu cita-cita anak yang lahir di Bengkulu, 12 Oktober 1992 ini. "Dia menuliskan sesuatu di kertas dan ditempel di langit-langit kamarnya. Ternyata isinya dia ingin menghajikan ibunya dengan ONH Plus. Waktu itu, ibunya tak bisa ikut naik haji jadi Yoga berniat akan menemani mamanya," ujar Zirmansnyah.
Setamat kuliah nanti, Yoga juga berencana mengambil S2 di bidang IT. Ia ingin jadi entrepreneur seperti Steve Jobs atau Bill Gates. "Kata Yoga, jadi ahli IT di kantor hanya digaji atasan. Sudah capek kerja, ilmu tak berkembang. Yoga maunya buka lapangan kerja untuk orang lain. Saya bangga dia punya niatan seperti itu," ujar sang ayah.
Kedua tersangka pelaku pengeroyokan, DR (22) dan EZ (24) yang juga mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi UAI, kini telah diamankan Kepolisian meski mereka ikut mengantar Yoga ke RSPP pasca kejadian. Selain terancam hukuman pidana, mereka juga dipecat dari UAI. "Jangan sampai kejadian ini terulang pada orang lain. Harus ada upaya hukum yang membuat jera," harap ayah Yoga.
Adei, Swita, Edwin / bersambung