Anie Klaus: Enough is Enough! (1)

By nova.id, Kamis, 1 Desember 2011 | 01:03 WIB
Anie Klaus Enough is Enough! 1 (nova.id)
Siksaan Makin Bertubi

Doaku seakan terjawab. Aku merasa agak tenang setelah tahu mobil diarahkan kembali ke apartemen. Firman sempat mengancamku, "Lo jangan berisik, ya! Lo teriak, lo nangis, gue abisin!" Dia tahu di apartemen ada banyak petugas keamanan yang berjaga dari gerbang sampai lokasi parkiran. Mencoba menurutinya, aku menahan sakit dan tangis. Sebisa mungkin aku tak bersuara.

Ketika akhirnya Firman memarkir mobil, aku kembali dipukul hingga bagian dalam bibir bawahku robek. Aku terus meminta ampun, "Ampun Beib (dari kata baby, panggilan sayang, Red.), ini sudah darah semua," rintihku. Kuusap darah di mulutku dan menunjukkannya kepada Firman. Tapi itu pun ternyata tak membuatnya melunak. Malah rambutku dijambak kuat-kuat dan disuruh diam. Saat jambakan dilepas, aku segera membuka pintu mobil dan tertatih-tatih menjauhinya.

Aku berjalan sambil berteriak minta tolong, berharap petugas keamanan datang menghentikan siksaan Firman. Sayup-sayup kudengar Firman teriak, "Mau ke mana lo!" Tak lama kemudian ia menyeretku kembali masuk mobil. Karena tahu tak bisa melawan, kujatuhkan badan agar ia susah membawaku masuk mobil.

Teriakanku tadi rupanya didengar petugas keamanan. Tiga petugas segera datang menghampiri. Tapi bukannya membantu, mereka hanya berdiri dan melihat, sementara Firman duduk di atas perutku dan mencekik leherku di atas tanah. Sungguh aku tak tahu lagi bagaimana keadaanku saat itu. Terlebih ketika itu aku memakai rok. Akibat tarik-tarikan itu, rokku terangkat, memperlihatkan celana dalamku. Suami yang harusnya menjaga kehormatan istrinya malah menyiksaku dan membiarkan keadaan memalukan itu dilihat oleh tiga petugas keamanan. Sungguh, tak ada lagi harga diriku!

Barang di Kardus

Aku terus minta tolong hingga akhirnya ketiga petugas keamanan tadi mendekat dan meminta agar Firman menghentikan perbuatannya. Akhirnya Firman melepaskan aku. Aku langsung berdiri dan lari ke lift menuju lobi, kemudian membersihkan diri di toilet umum sebelum akhirnya mencari taksi. Di dalam taksi, aku tak tahu harus menuju ke mana. Akhirnya kuputuskan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

Tiba di RSMMC, dokter dan perawat tidak berani langsung melakukan perawatan medis. Mereka terlebih dulu memotret kondisiku, membuat visum, baru memberi perawatan. Selesai semuanya, aku melaporkan kejadian ini ke Polres Jakarta Selatan. Semua kulakukan sendiri, tanpa ditemani siapa pun. Siapa juga yang bisa kutelepon untuk dimintai bantuan? Aku anak semata wayang, orangtua sudah berpisah. Ibu di Ujung Pandang, sementara ayahku jauh di Jerman.

Sebelumnya aku memang sudah berniat, jika sekali lagi aku mengalami kekerasan dari Firman, aku akan membawanya ke polisi. Enough is enough! Kejadian ini bukanlah yang pertama kali, tapi yang paling besar dan berat yang pernah kualami. Sebelumnya, memang Firman pernah melakukan kekerasan, tapi tidak pernah separah ini.

Yang membuatku semakin sedih, langkah hukum yang kuambil ini justru disalahkan oleh mertuaku. Yang jelas, sejak hari itu, aksesku bertemu Jessy sama sekali ditutup. Masuk apartemen untuk sekadar mengambil baju pun, tak boleh. Beruntung aku memiliki beberapa teman yang bersedia menampungku di rumah mereka. Bayangkan, sampai baju saja aku harus meminjam dari teman. Sesuatu yang tak pernah aku lakukan sebelumnya.

Baru lima hari setelah kejadian, aku diperbolehkan mengambil barang-barang pribadiku di apartemen. Itu pun tidak diizinkan mengambil sendiri ke kamar. Barang-barangku sudah dimasukkan ke dalam kardus dan ditaruh di lobi apartemen, ditunggui oleh mantan supir pribadi kami yang kebetulan masih bekerja di apartemen itu. Aku merasa terenyuh karena meski sudah tak bekerja lagi dengan kami, dia masih mau membantuku. Justru orang lain yang peduli denganku.

Edwin Yusman F / bersambung