Tak jauh dari rumah Lisa, ada tempat semacam bengkel kerja. Ada beberapa karyawan tengah bekerja. "Mereka melakukan finishing. Mulai dari mengampelas sampai nanti ke pelitur. Saya bekerja sama dengan teman-teman perajin lain. Saya ambil mebel dari mereka, kemudian saya memproses lebih lanjut," kisah Lisa.
Sebelum memulai usaha sendiri, Lisa menjadi sekretaris sebuah perusahaan mebel pada tahun 1994. Bukan hanya urusan kesekretariatan, "Saya dipercaya bos mengerjakan urusan pembukuan sampai berhubungan dengan buyer. Juga mengurus karyawan yang jumlahnya ratusan orang. Pokoknya saya dipercaya melakukan semuanya. Saya jadi banyak belajar."
Ketika banyak pembeli dari berbagai negara Eropa datang ke Jepara, "Saya kerap menjadi guide. Saya antar mereka ke berbagai sentra kerajinan. Ketika saya masih bekerja, orang-orang bule itu minta saya mengatur order mereka. Awalnya masih bisa bagi pekerjaan. Lama-kelamaan saya mengundurkan diri dan fokus pada pembeli luar. Kami bekerja sama. Bahkan, saya pernah disewakan showroom yang cukup luas," kata Lisa yang bermitra dengan beberapa perajin.
Tahun 1997-2002, Lisa juga menikmati rezeki booming furniture. "Waktu itu, banyak perajin Jepara yang sukses secara materi. Sungguh luar biasa. Saya melihat ada warga Eropa datang ke mari dengan membawa uang satu kopor dan membelanjakan semua uangnya. Saya juga kerja sama dengan buyer dari Kanada. Mereka punya pasar di negaranya. Setidaknya sebulan sekali saya kirim satu kontainer mebel."
Ketika mebel sudah tidak lagi booming, banyak perajin yang berguguran. Lisa termasuk yang masih bertahan. "Buyer dari luar memang belum seramai dulu. Sekarang, saya konsentrasi menggarap pasar lokal yang makin menggeliat."
Omset usaha Lisa memang menurun dibandingkan masa booming. "Dulu, bisa sampai puluhan juta. Sekarang, sih, tinggal belasan juta," kata Lisa seraya mengatakan, kebanyakan pembelinya datang dari berbagai kota besar. "Mereka tinggal pesan mebel yang disukai. Nanti, saya akan kirimkan. Harganya macam-macam. Mulai dari Rp 2 juta-an sampai belasan juta."
Henry Ismono / bersambung