Ketika tahun 1997 Sara Destariansyah membuka toko bunga Les Mignones di Jakarta, bunga masih merupakan sesuatu yang dianggap eksklusif. "Waktu itu, orang cenderung memilih mengirim makanan daripada bunga ke orang lain," tutur Sara tersenyum. Masyarakat lebih memilih bunga plastik alias artifisial untuk menghias rumah atau acara pernikahan. Kalaupun memilih bunga hidup, gaya rangkaiannya masih konvensional.
Hampir 10 tahun meninggalkan Indonesia karena pindah ke Australia, Sara terkaget-kaget melihat pertumbuhan bisnis bunga dalam negeri. "Masyarakat mulai menggunakan bunga untuk ucapan selamat, terima kasih, atau permintaan maaf. Kalau dulu hotel memajang bunga artifisial, kini mereka punya floris sendiri dan bunga hidup yang dipajang sangat artistik," tutur Sara.
Tak hanya itu, bisnis online dan kursus merangkai bunga juga makin banyak bermunculan. Sara sendiri membuka toko bunga The Bloom sejak Desember 2003 di Australia sampai menjelang pulang ke Indonesia.
Menjual Emosi
Selama tujuh tahun membuka toko bunga di Australia, perempuan yang mendapatkan Certificate IV dalam bidang floristry ini bisa merasakan jauhnya perbedaan floris di Indonesia dan luar negeri. Menurutnya, meski perkembangan floris di Indonesia cukup pesat dan menjanjikan sebagai peluang karier, apresiasi masyarakat terhadap bunga hidup belum setinggi masyarakat asing.
"Di sana, bunga sudah menjadi kebutuhan dan budaya. Adalah hal lumrah seseorang pulang kantor membawa bunga ke rumah, baik untuk diberikan ke pasangan maupun sebagai pajangan di dapur," terangnya.
Floris di Indonesia, sebutnya, umumnya kurang memerhatikan penanganan bunga. "Bunga yang datang dari petani langsung ditumpuk begitu saja, bisa berjam-jam lamanya sebelum dimasukkan ke ember berisi air. Cara ini mengurangi umur bunga."
Sisi keamanan juga harus diperhatikan saat merangkai. "Kawat tak boleh nongol, karena bisa membahayakan anak-anak bila kebetulan memegangnya," jelas Sara.
Seluruh proses harus diketahui seorang floris dengan baik, mulai dari menerima pesanan sampai bunga diterima klien. Proses ini antara lain menerima telepon saat menangani komplain, pertanyaan, dan pesanan. "Jadi, kalau ada yang menanyakan kualitas bunga, yang menjawab telepon bisa tahu karena memang dilakukan oleh floris."
Apalagi, lanjut Sara, menjual bunga sebetulnya menjual emosi. Harga bunga yang dipesan biasanya tergantung kedekatan emosional pemesan dengan orang yang dikirimi. Untuk menjadi floris, menurut Sara yang membuka usaha kursus Jakflo di kawasan Kemang sejak 2005 ini, masih ada beberapa syarat lain.
Antara lain harus menyukai bunga yang penanganannya berbeda-beda. Mengerti elemen-elemen desain yang dibutuhkan dalam merangkai jadi syarat berikutnya. Elemen ini antara lain warna, tekstur, dan bentuk bunga. "Jangan sampai terlalu banyak warna, tekstur, atau bentuk dalam satu rangkaian, karena akan terlihat kacau."