Ternyata adikku datang tanpa membawa uang. Setelah berembuk, aku memutuskan untuk bernegosiasi lagi dengan pihak RS. Tanpa pikir panjang, kuserahkan STNK motorku sebagai jaminan. Setelah berdebat cukup lama, Nisza akhirnya diberikan obat berupa selang untuk menyedot isi lambungnya. Kata dokter, lambungnya harus dikuras.
Ternyata harapanku harus pupus. Beberapa saat setelah tindakan itu, Nisza malah kejang-kejang dan matanya mendelik ke atas. Panasnya tinggi sampai 40 dan 41 derajat Celsius. Aku dan istri tentu bingung. Bergantian kami mengompres Nisza, perawat sesekali menengok.
Melihat keadaan Nisza, perawat kembali memanggil dokter jaga. Setelah memeriksa, dokter lagi-lagi memberi resep. Katanya untuk obat kejang dan penurun panas. Buru-buru aku ke apotek sambil membawa resep tanpa tahu harus bagaimana membayarnya.
Sungguh, tak ada sepeser pun uang di saku celanaku. Hartaku yang tersisa hanyalah telepon genggam. Saat petugas apotek menyodorkan obat sambil berujar biayanya Rp 100 ribu, spontan kusodorkan telepon genggam itu. Aku memohon-mohon kepadanya agar menerima HP sebagai pengganti uang. Apa saja yang menempel di tubuhku akan kuberikan asal Nisza bisa mendapatkan obatnya saat itu juga. Namun, petugas menolak. Katanya, ini sudah prosedur RS. "Ada uang, ada obat," katanya. Duh, sakit hatiku mendengarnya.
Henry Ismono / bersambung