Magelang, Jawa Tengah, kota itulah yang diinginkan putraku, Habibie Afsyah untuk tinggal. Di kampung halamanku ini Habibie ingin hidup mandiri. Di Magelang pula teman-teman Habibie di komunitas Kampung Blogger banyak tinggal. Karena Habibie lebih nyaman berdekatan dengan mereka, aku hanya bisa pasrah mengikuti kemauannya pindah.
Apalagi, Habibie sudah punya penghasilan sendiri, jadi ia berani hidup mandiri. Walaupun tetap saja harus ada pendamping untuk bisa mendorongkan kursi rodanya, menyuapinya saat makan dan minum, dan mengangkatnya saat akan tidur.
Ya, waktu terasa begitu cepat berjalan. Rasanya baru kemarin aku melahirkan bayi ganteng seberat 4,1 kg itu. Tak ada keluhan berarti yang kualami di masa hamil sampai melahirkan. Anakku lahir pada 6 Januari 1988 dan kuberi nama seperti tokoh idolaku, BJ Habibie. Habibie adalah bungsu dari 8 bersaudara, kakak-kakaknya adalah anak suamiku dari istri pertamanya yang sudah meninggal. Di rumah, kami panggil ia dengan nama kesayangan, Dede.
Saat usia Habibie menginjak 9 bulan, aku mulai curiga karena pertumbuhannya tak sama dengan anak seusianya. Awalnya dokter spesialis menganggap ada keterlambatan pertumbuhan. Tetapi begitu kami mencari second opinion ke Profesor Teguh, beliau mengatakan, Habibie menderita Muscular Dystrophy tipe Becker (BMD).
Penyakit genetik ini membuat otot-otot anakku melemah. Seiring pelemahan otot itu, penderita BMD juga biasanya bermasalah dengan pernapasan, jantung, tulang, dan persendian. Apalagi tipe yang diderita Habibie bersifat progresif, artinya penyakit ini semakin hari akan semakin menggerogoti tubuhnya. Hati ibu mana yang tak hancur mendengar pemaparan seperti itu?
Satu Titik Harapan
Tadinya, aku bermimpi menjadikan anakku atlet dengan badan atletis. Namun, setelah kami tahu Habibie menderita BMD, aku mengubah pola didik dan pola hidupnya. Sejak usianya 2 tahun, aku rajin memberinya mainan edukatif. Menurutku, otaknya harus diberi banyak rangsangan agar tak terbawa jadi lemah. Aku juga rajin membawa Habibie jalan-jalan ke Kebun Binatang atau Ancol agar ia terbiasa bersosialisasi dengan lingkungan.
Habibie kecil pun cepat hapal jalan karena aku mengajarkannya lewat lambang-lambang. Misalnya, kebun binatang pakai gambar monyet dan sebagainya. Kecerdasannya jadi makin terbangun dan ia cepat belajar membaca. Saat usianya 4 tahun, YPAC merekomendasikan tes IQ untuk menentukan apakah Habibie bisa masuk sekolah normal atau harus ke sekolah luar biasa.
Ternyata otaknya normal, bahkan IQ-nya di atas rata-rata. Saat itu, aku merasa ada satu titik harapan.Aku lantas memasukkan Habibie ke SD Inpres. Sayang, tak semua murid bisa menerima kekurangannya. Mulai dari yang memandang aneh, jahil, kadang alat-alat tulisnya diambil, atau dipaksa memberi contekan oleh murid yang tak naik kelas.
Tak tahan, naik kelas 3 SD Habibie minta pindah sekolah. Segera aku pindahkan Habibie ke YPAC Hang Lekiu bersama anak-anak cacat lain. Rupanya, di sini pembinaannya lebih bagus, ada sosialisasi dengan lingkungan luar, salah satunya kegiatan pentas musik. Satu kelas hanya ada 4 murid dan Habibie selalu ranking satu. Sekolahnya jurusan SLBD, sekolah untuk anak cacat fisik tetapi kurikulumnya ikut SD negeri.
Menginjak SMP aku ingin menguji nyali dengan menyekolahkan di sekolah negeri. Di YPAC, Habibie hanya bersaing dengan 3 murid saja. Anakku akhirnya sekolah di SMP Tri Guna yang menerima lulusan YPAC. Benar saja, Habibie menunjukkan kemampuannya, kembali meraih ranking satu. Begitupun di SMA, Habibie berhasil masuk SMA Sunda Kelapa karena prestasinya yang bagus.