Saat Habibie lulus SMA, aku kembali berpikir keras, mau ke mana lagi setelah ini. Aku memutuskan tak akan meneruskan pendidikan Habibie ke perguruan tinggi. Sebagai gantinya, aku akan memberikannya pendidikan informal yang bisa langsung diterapkan Habibie.
Sayangnya, setelah lulus SMA Habibie menarik diri dari pergaulan. Diajak pergi atau jalan-jalan tak mau, alasannya selalu malas. Padahal biasanya ia senang nongkrong bersama teman-temannya. Merasa kasihan, sang kakak mengajarkannya main game di internet. Semenjak itulah, Habibie senang main game PS, Nitendo atau ke warnet.
Melihat minatnya pada dunia internet begitu besar, aku ajak Habibie ke seminar Tung Desem Waringin. Di seminar itu, para pembicara menampilkan pendapatan mereka soal menjadi internet marketer. Tak berhenti di situ, tahun 2007 aku daftarkan Habibie ke kelas internet marketing yang lebih mahal, dengan biaya Rp 5 juta. Selesai seminar, Habibie mengaku tak mengerti apa-apa. "Ma, aku bingung mau ngapain," jawabnya. "Kalau Dede belum mengerti, berarti harus ikut lagi," kataku menyemangati. Lagi-lagi kudaftarkan ia kursus membuat blog dengan sistem HTML selama 5 hari.
Pelan-pelan, Habibie mulai mengerti dan paham. Sempat aku cekoki ia dengan pelajaran desain grafis, tapi gagal karena Habibie tak bisa menggerakkan tangannya. Meski begitu, aku terus memotivasinya untuk belajar berbagai ilmu. Belajar ilmu marketing, kan, tak bisa berdiri sendiri karena pasti ada ilmu penunjangnya. Harus bisa bikin blog, belajar menulis, memasarkan barang dengan kata-kata hingga orang tertarik, "menghipnotis" orang agar yang membaca merasa rugi bila tak membeli barang yang dijual, dan sebagainya.
Nah, kenapa aku berkonsetrasi mengarahkan Habibie ke dunia internet, karena itulah yang paling bisa dikuasai Habibie. Dengan keterbatasan gerak namun otak yang luar biasa, aku yakin Habibie bisa menjadi internet marketer yang hebat.
Noverita K Waldan / bersambung