Dua Bedaya Penganten Keraton Yogyakarta

By nova.id, Kamis, 20 Oktober 2011 | 00:25 WIB
Dua Bedaya Penganten Keraton Yogyakarta (nova.id)

Dua Bedaya Penganten Keraton Yogyakarta (nova.id)

"Foto: Siswanto/Dok NOVA "

Dalam jamuan resepsi di Bangsal Kepatihan Jl Malioboro, para tamu dijamu makan malam dan beksan (tarian) khusus. "Yang pertama, Bedaya Sangaskara atau Bedaya Manten yang ditarikan enam perempuan. Ini karya cipta Ngarsadalem HB IX sekitar tahun 1942. Bedaya ini mengisahkan awal perjumpaan pengantin pada umumnya, sampai pada daup atau upacara Panggih," jelas GBPH Yudaningrat.

Sejarah terciptanya budaya ini, lanjutnya, "Sebelum zaman HB IX, pada jamuan resepsi pengantin, Sultan HB VII dan Sultan HB VIII menginginkan ada Beksan Lawung Ageng. Nah, setelah Sultan HB IX bertahta, beliau membuat sendiri disusul para empu tari, empu kerawitan, empu seni suara dari keraton, yang akhirnya menjadi Bedaya Sangaskara."

Di jamuan resepsi pernikahan GKR. Bendara-KPH. Yudanegara ini juga ditampilkan dua bedaya sekaligus, yakni Lawung Ageng dan Sangaskara. "Beksan Lawung Ageng atau dikenal juga dengan sebutan Beksan Trunojoyo, ditarikan 16 orang. Istimewanya, di dalam beksan ini terdapat empat bahasa yang dipergunakan dalam percakapannya, antara lain Madura, Jawa kuno, dan Sansekerta. Beksan ini diciptakan oleh Sultan HB I setelah beliau mendapat gelar sultan."

Beksan Lawung Ageng diciptakan lantaran Sultan HB I, yang sebelumnya bergelar Pangeran Mangkubumi, berharap agar para prajurit keraton belajar seni atau diwajibkan belajar seni agar tercipta keseimbangan jiwa. "Agar tidak liar, tak mudah emosi, dan lainnya. Pada perkembangannya, bedaya ini ditampilkan pula di jamuan resepsi perkawinan putri raja."

Rini