Keterbatasan Tak Mampu Surutkan Tekad Arina (1)

By nova.id, Kamis, 13 Oktober 2011 | 23:45 WIB
Keterbatasan Tak Mampu Surutkan Tekad Arina 1 (nova.id)

Operasi yang termasuk ke dalam kategori operasi besar ini berjalan. Untuk mempebaiki kedua kakiku, dokter harus melakukan 13 sayatan. Satu sayatan saja bisa mencapai 10 cm. Bisa dibayangkan, betapa banyaknya bekas sayatan di sekujur kakiku. Setelah operasi selesai, aku memang tak merasakan apa-apa, tetapi begitu reaksi obat mulai berkurang, duh... sakitnya minta ampun. Namanya juga anak-anak, aku cuma bisa menangis.

Celakanya, operasi itu tak hanya sekali dilakukan, tapi harus diulangi, lagi dan lagi. Soal operasi ini memang sudah jadi langgananku. Tahukah, sudah berapa kali aku dioperasi? Sebanyak 14 kali! Setelah operasi, aku harus memaki sepatu bris, sampai kelas 1 SMP. Semasa SMP inilah aku merasa sangat malu, lantaran kerap menjadi bahan olok-olok teman-teman.

Jadi, letak sekolahku berhadapan dengan sekolah SD-ku sebelumnya. Setiap aku datang di pagi hari dan hendak masuk sekolah, anak-anak SD yang ada di depan sekolah itu bersorak-sorai meneriaki diriku, "Robot.. robot..." Karena malu jadi bahan ejekan, aku mengadu ke ibu. Lagi-lagi ibu dengan sabar berusaha membesarkan hatiku. "Anak-anak itu tidak usah ditanggapi, anggap semua itu batu," katanya dengan sabar dan penuh kasih.

Keterbatasan Tak Mampu Surutkan Tekad Arina 1 (nova.id)
Keterbatasan Tak Mampu Surutkan Tekad Arina 1 (nova.id)

"Dengan motor roda tiganya, Arina tak sulit lagi saat harus pergi ke mana pun (Foto: Dok Pri) "

Modifikasi Motor

Karena aku sering melakukan penelitian, ada hikmah besar yang akau terima. Suatu ketika aku diminta membantu menemani 11 mahasiswa dari Newcastle University Inggris di Surabaya. Mereka tengah melakukan penelitian soal fasilitas bagi orang berkebutuhan khusus. Saat itu, aku mengantarkan mereka bertemu Bu Isnawati, guru sekolah anak-anak cacat yang kebetulan beliau sendiri juga cacat.

Begitu mengetahui aku ke sana ke mari diantar keluaraga, Bu Isna meledekku. "Mbak, kenapa masih suka minta diantar? Apa Anda tidak ingin memakai kendaraan sendiri seperti yang saya lakukan ini?" ujar Bu Isna sambil menunjukkan sepeda motor roda tiga miliknya. Jujur saja, aku tercenggang melihatnya. Dalam hati, mengapa aku tak meniru dirinya sehingga ke sana ke mari bisa mandiri, tanpa bantuan orang lain.

Setelah selesai mengantarkan para mahasiswa dari Inggris itu, oleh Bu Isna aku dikenalkan ke Pak Syaiful, seorang penyandang cacat yang ahli memodofikasi kendaraan roda dua menjadi roda tiga. Aku langsung tertarik, kemudian kuserahkan motor roda duaku ke Pak Syaiful untuk dimodifikasi senyaman mungkin, sesuai dengan ukuran tubuhku.

Yang membuat aku terharu, Pak Syaiful sama sekali tak mau kubayar sedikitpun. Bahkan, Pak Syaiful lah yang mengeluarkan modal untuk membuat motor modifikasi itu. Keberadaan motor khusus itu membuat transportasi bukan kendala lagi buatku. Aku bisa ke sana ke mari sendiri dan sangat nyaman. Karena itulah Bu Isna dan Pak Syaiful merupakan orang yang paling berjasa bagiku.

Gandhi Wasono M / bersambung