Pemecatan Staf Ahli DPR, Tak Ada Kontrak Kerja Jelas (1)

By nova.id, Sabtu, 3 September 2011 | 23:50 WIB
Pemecatan Staf Ahli DPR Tak Ada Kontrak Kerja Jelas 1 (nova.id)

Tanggal 1 Agustus, Naning mulai bekerja di kediaman Itet di daerah Menteng. Waktu itu, Naning masih berniat mengajukan cuti hamil saja. Dalam bayangannya, ia akan kembali produktif bekerja usai cuti melahirkan. "Tapi, Bu Itet marah. Mungkin dia kaget karena saya mengajukan cuti."

Menurut Naning, Itet mengatakan yang intinya, "Kamu hitung berapa yang mesti saya bayar, tapi setelah itu selesai." Naning pun makin mengerti, ia sudah akan di-PHK. Keesokan harinya, ia ditelepon staf Itet untuk datang ke kantor Itet di DPR. "Katanya, Ibu mau ketemu saya."

Pemecatan Staf Ahli DPR Tak Ada Kontrak Kerja Jelas 1 (nova.id)

"Surat pernyataan yang disodorkan kepada Naning, enggan ditandatanganinya (Foto: Henry Ismono) "

Surat Pemecatan

Naning benar datang ke kantor Itet. Kali ini ia membawa surat resmi pengajuan cuti plus perhitungan seperti yang diminta Itet. Ia cantumkan pula perhitungan gaji dan tunjangan cuti. "Bu Itet, kan, minta saya membuat perincian. Namun Bu Itet tidak ada di kantor. Saya bertemu Satria, staf Bu Itet. Saya kaget ketika dia mengatakan, 'Mbak hanya sampai di sini.' Jelas sudah, saya di-cut."

Yang lebih mengagetkan Naning, Satria menyodorkan Surat Pernyataan yang mesti ditandatangani Naning. Isi surat pernyataan itu antara lain, telah menerima uang dari dana pribadi Ibu Itet sebesar Rp 10 juta dengan rincian, gaji Rp 2 juta, THR 1 juta, sumbangan melahirkan Rp 2 juta, dan tanda kemanusiaan untuk melahirkan sebesar Rp 5 juta.

Surat pernyataan itu juga berisi, terhitung sejak 1 Agustus 2011 Naning tidak lagi bekerja sebagai staf tambahan anggota DPR RI A-330, nomor anggota Itet. Naning menolak tanda tangan. Baginya, tindakan Itet yang memecatnya secara sepihak justru melecehkan. "Tindakannya melecehkan hak buruh perempuan yang sedang hamil. Tidak pantas dilakukan oleh seorang anggota DPR."

Menurut Naning, sesuai UU Tenaga Kerja N0 13 tahun 2003 pasal 82 ayat 1, "Saya berhak mendapat cuti tiga bulan dan dibayar penuh. Selain itu, surat penghentian kerja itu mesti ada obrolan antara pemberi kerja dengan karyawan. Bukan sesama karyawan."

Naning tetap menitipkan surat yang berisi perincian uang yang menjadi haknya. "Bukannya saya mau "nembak". Bagi saya, tetap perlu ada diskusi. Saya tulis pesan, kalau sampai tanggal 15 Agustus tidak ada perundingan, saya akan menempuh jalur hukum."

Selama dua minggu ia menunggu respons Itet namun tak ada kabar apa pun sampai tanggal 16 Agustus, sesuai tenggat waktu yang ia tentukan. Ia pun bertekad membeberkan masalahnya kepada masyarakat. Naning juga berencana melaporkan Itet ke Komnas Perempuan dan Dewan Kehormatan DPR. Ia berharap Dewan Kehormatan DPR menegur Itet atas perbuatan yang dianggap sewenang-wenang.

"Saya tidak lagi bicara normatif soal gaji dan uang cuti. Tapi saya ingin aturan ditegakkan menurut UU."

Sekaligus Naning juga berharap UU Ketenagakerjaan diterapkan di DPR. "Saya berharap, nasib saya tidak dialami staf ahli lainnya. Saya ini, kan, seperti pekerja domestik, kadang seperti pembantu yang tidak ada kontrak kerja yang jelas."

Naning enggan menanggapi komentar Itet yang di berbagai media mengatakan, ia tak becus bekerja. "Saya memang membaca, Bu Itet mengatakan saya tidak bisa menulis surat dan membuat summary. Saya tak perlu menanggapi apa pun. Kalau saya tak bisa menulis surat, apa iya saya bisa bekerja di sebuah lembaga NGO internasional. Lalu, saya, kan, sudah 1 tahun 4 bulan bekerja di tempat Bu Itet, kenapa tidak dari dulu ia mengatakan saya tak mampu bekerja," kata Naning yang diperkirakan akan melahirkan anak keduanya pertengahan September nanti.

Naning juga tak terima alasan Itet yang mendasarkan pemecatannya pada aturan Setjen DPR RI, yang mengatakan Staf Ahli setiap saat bersedia di-PHK bila anggota Dewan menghendaki. "Staf ahli utama yang digaji Setjen memang menandatangani surat perjanjian yang salah satu isinya seperti itu. Tapi saya, kan, tidak tanda tangan surat seperti itu."

 Henry Ismono / bersambung