Berhenti Kerja
Tanpa diduga, pada 1997 ada penawaran dari kantorku, siapa yang mau mengundurkan diri silakan mengajukan diri. Aku mulai berpikir, bila bisnis yang aku jalani tidak kuat, bisa-bisa usahaku akan berakhir. Apalagi pertumbuhannya agak pesat. Maka, aku putuskan untuk menerima tawaran dari kantor. Aku pun memilih ke luar dari pekerjaanku.
Selama dua tahun aku agak berat menjalani karena terbiasa bekerja di perusahaan yang go international. Tiba-tiba aku harus menggeluti bisnis garmen, menghadapi tukang jahit, memasarkan produk, dan berhadapan dengan karyawan yang kerap lembur kerja. Maret 1997 Matahari memutuskan semua batik harus konsinyasi. Wah, pas banget, pikirku. Jadi aku bisa fokus ke satu hal.
Di tahun yang sama, kami memutuskan membuat merek untuk batik lapis kedua, Adikusuma. Kusuma adalah nama bunga. Berbeda dengan Arjuna Weda, Adikusuma pangsa pasarnya untuk kalangan menengah ke bawah dan dipasarkan secara konsinyasi di Ramayana.
Lokasi pabrik pun pindah ke Batu Alam Jaya di daerah Kramat Jati dengan jumlah karyawan sebanyak 40 orang. Pelan-pelan aku mulai membuat struktur organisasi perusahaan, walaupun masih sederhana. Tahun 1998, kami sempat terkena imbas krisis ekonomi. Saat itu semuanya serba sulit, tapi kami berani mengambil kebijakan tidak akan mem-PHK karyawan.
Di tahun 2004 karena pertumbuhan bisnisnya cepat, aku mengalami over stok. Sempat juga ekspor ke Malaysia dan dijual di sebuah departement store di sana. Hanya saja mereka "menembak" (meniru) motif batikku. Tindakan itu tentu saja membuat aku kecewa. Aku jadi malas meneruskan kerja sama.
Dua Cobaan
Cobaan berat pun pernah menimpa usaha kami. Pada 20 Agustus 2006 pabrik kami kebakaran akibat korsleting listrik, tepat dua bulan sebelum Lebaran. Seluruh stok barang yang sudah dipersiapkan untuk Lebaran habis terbakar. Untungnya, gedung yang baru selesai dibangun tidak ikut dilalap api.
Meski diasuransi, tapi jumlahnya tidak seberapa besar. Karyawanku tak ada yang kuperbolehkan mudik. Meski sebenarnya sudah ada barang yang masuk ke toko, tapi tetap harus ada penambahan buat Lebaran. Untungnya, supplier mengerti karena selama ini pembayaran selalu lancar.
Cobaan kedua muncul beberapa bulan setelahnya. Suamiku meninggal dunia. Ya, mungkin sudah waktunya dipanggil Yang Maha Kuasa, padahal sebelumya almarhum tak sakit apa-apa. Hubungan kami sangat dekat, ke manapun pergi pasti berdua. Sebagai muslimah, selama itu aku tak boleh keluar rumah selama beberapa bulan. Untungnya, jarak rumah dengan pabrik hanya 100 meter.
Jadi, aku kerja di rumah, pakai line telepon, dan hanya boleh bertemu pegawai cewek. Syukurlah, mereka mengerti kesulitanku. Memang semua terasa berat, apalagi aku menjalani semuanya sendirian. Anak sulung kami masih sekolah di Jerman, sementara si bungsu kuliah di sini. Saya bersyukur, Allah memberikan kekuatan, sehingga aku bisa mengayomi anak-anak, tetap ibadah dan bekerja.
Noverita / bersambung