Dunia batik sudah tidak asing lagi bagiku. Kedua orangtuaku adalah pengusaha batik. Demikian juga kakek dan nenekku. Bahkan pamanku adalah pengusaha grosir batik terbesar di Sumatera Selatan. Waktu aku kecil, main di atas bantal batik adalah hal biasa. Motif-motif truntum, parang dan sidomukti sudah kukenal sejak aku belia. Tapi, tetap saja tak menyangka ketika aku dewasa bakal terjun ke bisnis batik.
Sebagai sulung dari 8 bersaudara, aku banyak belajar dari kakak Ibu yang sudah kuanggap orangtua sendiri. Beliau mendidikku agar bisa berhemat, tapi bukan pelit. Aku kagum pada beliau yang mengerti tentang kain dan benang. Dari Ibu aku belajar tentang perjuangan. Ibu tak biasa memuji anak-anaknya. Menunggu sampai pegal pun tak akan pernah ke luar pujian darinya. Aku pernah tanya, kenapa Ibu bersikap begitu? Menurut beliau, sekali dipuji bagus anak-anak akan berhenti berusaha.
Kini, perusahaan busana batik yang aku jalani bersama almarhum suami terus berjalan. Karyawan kami sudah mencapai ratusan dan outlet kami tersebar di seluruh Indonesia, seperti departemen store Matahari dan supermarket Carrefour. Apa rahasianya? Sebenarnya sederhana saja. Aku selalu berusaha menikmati momen-momen yang kulalui. Perusahaan ini kurawat dan kuperbaiki tanpa kenal lelah, tak pernah terlintas untuk beralih ke bisnis lain.
Rahasia sukses lainnya adalah fokus, itulah yang selalu kulakukan. Seusai lulus dari Akademi Sekretari & Manajemen Indonesia (ASMI), aku bekerja selama 13 tahun di sebuah perusahaan otomotif. Ketika mulai bekerja di perusahaan itu, tepatnya pada tahun 1987, aku pun mulai merintis usaha batik. Aku memulai usaha batik sendiri dari sebuah garasi mobil di Duren Tiga Selatan, Warung Buncit, Jakarta Selatan. Saat itu jumlah karyawanku baru 9 orang dan hanya bisa memproduksi 30 lusin batik per bulan.
Awalnya, kami mendapat order jahit baju batik pria, tapi ternyata mengalami kegagalan hingga harus mengganti produk yang sudah dijahit. Suami yang kebetulan dulu berprofesi sebagai model mencoba menawarkan baju yang sudah terlanjur dijahit itu ke Mal Pasaraya, ternyata diterima.
Pihak Pasaraya lantas meminta kami memberi nama atau merek pada produk kami. Karena produknya pakaian laki-laki, maka kami beri nama Arjuna, tokoh pewayangan dengan karakter tampan dan berwibawa. Di belakangnya, kami tambahkan Weda, gabungan nama suami, Alwie, dan aku, Ida.
Sejak itu, kami mulai fokus membesarkan Arjuna Weda. Suami bolak balik mengurus toko, sementara aku bertugas mencari motif batik, mengurus keuangan dan akuntansi perusahaan kami. Tahun 1994 aku membentuk perusahaan dengan nama PT Wieda Sejahtera yang memproduksi batik merek Arjuna Weda. Lewat perusahaan ini pula, aku ingin mengangkat batik sebagai budaya bangsa.
Lama-kelamaan kami terpacu untuk merambah ke tempat lain. Pikir kami, jika hanya berjualan di satu tempat, bagaimana jika suatu saat tokonya tutup? Tentu kami tak bisa berjualan lagi. Meskipun waktu itu masih bekerja kantoran, aku ingin bisnis ini tetap berjalan. Akhirnya aku mencoba masuk ke Mal Plaza Indonesia. Kebetulan ketika itu baru buka, jadi peluangnya lebih besar. Bisa ditebak, harga sewanya sangat mahal. Setelah berjalan selama 5 tahun, margin perusahaan masih nol karena uangnya habis buat biaya kontrak tempat. Kami pun mencoba cari peluang di tempat yang lebih terjangkau. Tahun 1994, kami coba menyasar Matahari Department Store.
Karena masih bekerja, kami harus atur waktu sebaik-baiknya. Jumat sore seusai kerja, kami pergi ke Pekalongan naik kereta untuk belanja kain. Esoknya, kami sudah sampai di Jakarta dan menghabiskan waktu bersama dua anak kami.
Tak hanya ke Pekalongan atau Cirebon, kadang aku juga pergi ke Solo. Tetapi, untuk belanja batik printing, cukup di Jakarta saja. Tahun 1996 pesanan kami dari Matahari mencapai 30 ribuan helai baju batik. Aku lega karena penjualannya bagus. Setelah sukses di Matahari, kami pun masuk ke Ramayana. Di sini, pertumbuhannya agak "liar". Begitu barang habis, langsung minta tambah barang lagi. Modal pun harus segera ditambah.
Noverita / bersambung
KOMENTAR