Selulus dari Jurusan Media FIKOM UNPAD, Siti Hasanah Bajumi Candra yang kerap dipanggil Adhen (30) mulai berpikir untuk membangun usaha sendiri. Meski pernah bekerja di radio swasta (99ers) di Bandung sejak 2001 hingga 2008, darah wirausaha yang diwarisi dari ayahnya memacu Adhen untuk memulai usaha sendiri. "Aku hanya ingin menjalankan usaha sesuai apa yang aku suka," kebetulan sejak kecil Adhen sangat gandrung mengoleksi tas berbagai model.
Sebelum benar-benar terjun ke bisnis tas, Adhen melakukan survei terlebih dulu dengan mendatangi sejumlah acara pamarean kerajinan yang digelar setiap tahun di Jakarta. Dari situ, Adhen melihat peluang usaha dalam meraih pasar yang belum tergarap oleh produsen tas dalam negeri.
Berdasarkan hasil surveinya, produk tas kulit dalam negeri terlalu seragam, dengan model yang sangat konvensional. Untuk segmen orang-orang fashionable dan bekerja, belum terjamah oleh produsen lokal. "Kebanyakan orang-orang ini akhirnya memilih menggunakan produk buatan Cina atau produk kualitas nomor dua. Aku sendiri tidak suka barang palsu, mulailah aku berpikir untuk membuat tas sendiri," ungkap Adhen yang menyayangkan banyaknya orang menyukai barang "tembakan" atau palsu.
Meski bukan lulusan sekolah desainer, Adhen cukup percaya diri mendesain tasnya. Berbekal informasi dari majalah, internet, buku-buku luar negeri dan katalog tas dari luar negeri, Adhen lantas menciptakan Moozee pada Februari 2008. Dua bulan membuka usaha, Adhen memberanikan diri ikut ajang festival kerajinan se-Indonesia (Inacraft). Tujuannya, ingin melihat reaksi pasar atas produknya.
Begitu digelar, ternyata respons pengunjung lumayan bagus. Tidak ada masalah dengan harga sekitar Rp 300 ribu hingga Rp 800 ribu yang dibandrol saat itu. Menurut mereka, tas produksi Adhen memang produk yang mereka butuhkan. Bukan tas "tembakan" dengan merek luar, tapi berkualitas dan gaya. Adhen pun terus melaju.
Memang tak selamanya bisnis tas yang dirintis dengan pangsa pasar yang menjanjikan selalu berjalan mulus. Banyak sekali masalah yang mesti Adhen hadapi selama sekitar tiga tahun membesarkan Moozee. Perajin tas yang sulit menjaga kualitas, pengurusan sertifikat merek Moozee yang tak kunjung keluar, mengelola penjualan online serta terus meng-update model tas per enam bulan sesuai tren dunia, dan masih banyak lagi. Namun, semua itu tak menjadikan Adhen patah semangat menjalankan usaha.
Kini, bersama 10 pegawainya, Adhen mampu memroduksi sekitar 2.500 buah produk Moozee per bulan, baik tas maupun aksesori berbahan kulit. Tak hanya sekadar menjual secara online di www.moozeebags.com serta toko lokal di Plaza Indonesia dan UKM Gallery sejak Agustus 2010, produk ini juga sudah dijual di Ochard Central, Singapura bersanding dengan tas-tas merek desainer terkemuka lainnya.
Jika ditanya berapa omset yang didapatnya saat ini, Adhen hanya bisa berspekulasi, omsetnya sudah mencapai enamkali lipat dari modal awalnya. Meski sudah dapat dikatakan sukses dengan usahanya sendiri, Adhen tak lantas berpangku tangan serta berpuas diri. Ia mengaku masih memiliki ambisi ke depan.
"Kalau bicara target sih, tahun ini buka toko dulu di Bandung. Ke depan, aku ingin bisa ikut ajang seperti Jakarta Fashion Week sebagai desainer tas agar isa meraih peminat lebih banyak lagi," pungkas Adhen.
Nove, Laili / bersambung