Tak cuma "dinasihati" seperti itu, Alifa' dan teman-temannya juga diajari teknis memberi contekan agar tidak diketahui pengawas. Caranya, kata anakku, ia dibuatkan kertas buram yang sudah dinomori sesuai dengan jumlah soal. Saat tes, kalau Alifa' sudah selesai menjawab, duplikat jawaban itu harus dioper ke teman yang duduk di belakangnya, demikian seterusnya. Sedang untuk memberi contekan ke kelas lain, salah seorang siswa "disuruh" izin ke kamar mandi. Di sanalah transaksi kertas buram itu terjadi. Kalau memang tidak memungkinkan, jawaban yang sudah dilipat dalam keras kecil itu diletakkan ke pot bunga. Nanti siswa dari kelas lain yang akan mengambil.
Astaghfirullah! Aku mengelus dada, nyaris tak memercayai penuturan Alifa'. "Saya takut, Bu. Saya takut pada Ibu dan Pak Fat. Ibu, kan, selalu bilang, kita harus jujur." Bahkan, kata anakku, karena sadar harus melakukan hal yang benar, ia sengaja memelesetkan jawaban. Kata Alifa', ada sekitar 50 persen jawaban soal yang ia pelesetkan. "Saya kasihan sama Bapak dan Ibu yang mengajari saya mati-matian di rumah, tapi malah disuruh kasih contekan ke anak lain," katanya sambil menahan tangis karena takut kumarahi.
Jelas aku marah. Selama ini aku dan suamiku, Widodo, berusaha keras menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak kami tapi, kok, justru di sekolah yang merupakan lembaga yang seharusnya menanamkan budi pekerti yang luhur, malah mengajari anak berbuat curang. Akhirnya kuputuskan menemui Pak Suk, kepala sekolah Alifa'. Aku ingin dipertemukan dengan Pak Fat agar semua masalah menjadi jelas. Selain minta pengakuan, aku harap ada permintaan maaf darinya.
Namun, meski sudah kudatangi dua kali, usahaku bertemu Pak Fat tak pernah berhasil. Aku lantas memberi ultimatum ke Kepala Sekolah, kalau memang tidak ada penyelesaian, aku akan lapor ke lembaga yang lebih tinggi. Yang membuat aku sakit hati, jangankan keluhanku ditanggapi, keesokan harinya Alifa' justru dicueki oleh Pak Fat.
Merasa menemui jalan buntu dengan Kepala Sekolah, aku lantas pergi ke Pak Dirman, ketua komite sekolah. Bukannya memberi solusi, Pak Dirman malah berujar. "Kalau Ibu mau lapor ke atas, apa sudah siap dengan risikonya?" Setali tiga uang pula saat aku menemui Kepala Diknas Jatim. Alih-alih diberi jalan keluar, aku malah ditakut-takuti akan dituntut balik.
Toh, aku tak gentar. Karena tidak ada wadah yang bisa menampung keluhanku, saran seorang teman untuk menghubungi Radio Suara Surabaya, kujalankan. Dalam sesi wawancara lewat telepon dengan sang penyiar, kukeluarkan semua uneg-uneg yang mengganjal hatiku.