Bahkan, cara pengolahannya pun masih tradisional, bahan ditumbuk dalam wadah batu dengan alu kayu. "Lalu dipipis, dihaluskan lagi dengan alat penghalus yang terbuat dari batu. Proses memasaknya juga pakai luweng, sejenis kompor dengan bahan bakar kayu," jelas Rudy sambil mengisahkan, sang ayah merenovasi Toko Jamu Ginggang jadi menyerupai kafe.
"Beliau meniru konsep kafe di luar negeri, lengkap dengan kursi dan meja." JG pun jadi tempat berkumpul mahasiswa, pebisnis, atau pasangan muda-mudi. "Biasanya, orang-orang sepulang olahraga pagi, mampir ke sini."
JG menyediakan sekitar 17 macam jamu, seperti Temu Lawak, Beras Kencur, Cabe Puyang, Watukan, Uyub-uyub, Sawan Tahun. "Tadinya disediakan jajanan pasar buatan orang kampung. Tapi, penerusnya sudah tidak ada, jadi sekarang tidak disediakan lagi," tutur Rudy yang mematok harga Rp 10 ribu untuk jamu terlambat datang bulan dan Rp 3 ribu untuk segelas beras kencur. "Untuk lancar datang bulan, para wanita biasanya minum Kunir Asem di sini," papar Rudy.
Uniknya, ada juga yang percaya mitos, minum Jamu Sawang agar tidak kerasukan setan. "Biasanya banyak yang minum setelah ada yang meninggal," papar anak ke-7 dari 8 bersaudara ini.
Dalam sebulan, diakui Rudy, bisa laku 100-200 gelas jamu. "Ramainya di malam minggu atau sore jam pulang kantor. Siapa saja bisa mampir ke sini, kalau dulu, kan, banyaknya penjual di pasar yang minum jamu."
Rudy yakin, JG bisa bertahan. "Banyak anak-anak muda makin menyukai jamu. Mungkin sekarang makin banyak yang menyadari, jamu tidak ada efek sampingnya dan baik bagi kesehatan." Dan menurut Rudy, peluang usaha membuka kafe jamu seperti ini bisa berpotensi bagus. "Bahan bakunya mudah didapat dan khasiatnya sudah terbukti," tukasnya.