Selanjutnya, Harris masih ingin terus berkomitmen dalam mengolah sampah. Jadi, katanya, jangan heran bila menemukan batik limbah dijual dengan harga fantastis. "Ada banyak inspirasi yang datang. Ini bukan semata untuk keuntungan bisnis, tapi demi penyelamatan lingkungan hidup untuk generasi mendatang," tegasnya.
Sarwidi pun meningkatkan pelayanan dengan membeli ponsel dan membuat akun Facebook agar lebih cepat melayani pembeli. "Syukurlah, kain batik saya sekarang dihargai ratusan ribu. Apalagi sekarang makin banyak warna yang bisa diperoleh. Pokoknya, tanaman atau pohon yang punya pigmen warna, bisa diolah jadi pewarna batik alami." Sementara itu, limbah kain pun Sarwidi manfaatkan sebagai sarung bantal atau tas.
Yang jelas, ia tetap bertahan membuat batik berpewarna alami. "Tujuannya, ingin mempertahankan kebudayaan lama agar tak punah. Hasil pewarna alami warnanya lebih soft, natural, dan banyak disukai. Kalau pewarna kimiawi, kan, kesannya masal." Kini, Sarwidi memiliki 35 tenaga kerja. "Saya bisa menciptakan lapangan kerja, agar mereka enggak perlu jadi TKI atau pengangguran di desa ini."
Agar karyanya tak pasaran, Sarwidi tak menawarkan kain batiknya ke toko-toko. "Batik ini bukan produksi masal. Kalau ada yang mau beli, ya, harus ke tempat saya. Hasilnya, banyak yang datang dari Jakarta, Jepang dan Cekoslovakia ke sini. Saya juga tak punya toko dan belum bisa melayani order besar. Soalnya, pembuatannya cukup lama, satu kain bisa sampai tiga minggu."
Yang jelas, Sarwidi ingin terus mengembangkan batik berpewarna alami yang ramah lingkungan. Bahkan, ia juga membuka lebar pintu rumahnya bagi yang mau belajar padanya.
Swita, Nove / bersambung