Museum Resto Inggil Malang Dipenuhi Peninggalan Prasejarah
Meski resto Inggil bukanlah termasuk resto jadul. Namun, di resto yang berada di Jl. Gajah Mada, Kodya Malang ini didesain dengan arsitektur lawas. Dekorasi di dalamnya pun berupa barang-barang kuno yang memiliki nilai sejarah tinggi. "Karena itulah saya sengaja memberi nama museum resto," kata Dwi Cahyono (43), sang pemilik.
Di dalam resto yang dibuka sejak 2004 ini terdapat sejumlah perabot jadul. Mulai dari meja, kursi, wadah makanan, sampai setting panggung hiburan yang ada di dalamnya.Belum lagi barang-barang yang dipajang di sejumlah dinding maupun sudut bangunan yang juga memiliki nilai sejarah ini. Misalnya beberapa Kota Malang di masa lalu dalam format hitam putih, termasuk foto Presiden Soerkarno dan Bung Hatta pada saat mengadakan Kongres KNIP pada tahun 1953.
Sementara di ruang tengah, yang biasannya banyak digunakan untuk ruang rapat atau pertemuan, banyak terdapat barang-barang yang usia sudah mencapai 100-an tahun, bahkan lebih. Sedangkan di bagian belakang restoran, terdapat berbagai koleksi pajangan yang usianya mungkin lebih tua lagi. Misalnya, berbagai benda peninggalan zaman kerajaan Majapahit, seperti batu bata, keramik, terakota, peralatan makanan, hingga gading gajah yang berusia ratusan tahun.
"Di hari-hari tertentu, di sini juga digelar seni tradisional seperti ketoprak atau wayang orang di atas panggung. Pokoknya, sambil menyantap makanan, tamu disuguhi suasana kehidupan masa lalu," imbuh ayah empat anak yang memag pecinta benda kuno.
Karena itu, resto unik ini menjadi rujukan tempat makan yang akan meninggalkan kesan bagi wisatawan asing maupun lokal. Uniknya, selain konsep tempat bernuansa serba jadul, Dwi mengatakan, "Soal menu makanan juga demikian. Selain menyajikan makanan nasional, kami juga menyediakan menu khas tempo dulu. Misalnya, Sambal Terong, Sambel Tempe, dan masih banyak lagi."
Dwi, yang juga Ketua Dewan Kesenian Malang ini mendirikan resto ber-setting museum semat-mata sebagai bagian dari mencari cara agar orang-orang bisa menyukai benda-benda bersejarah. Selama ini, menurutnya, banyak orang terkesan enggan datang secara khusus ke museum untuk meihat benda bersejarah. Masih banyak dari mmereka menganggap, museum tak lebih sebagai tempat barang-barang tua yang tak menarik untuk dikunjungi. Padahal, "Justru museum adalah potret diri sebuah bangsa di masa lampau. Untuk itu saya bikin kosep seperti ini. Saya ingin memperkenalkan sejarah dengan cara museum yang mendatangi orang-orang, lewat resto ini," papar Dwi yang lulusan ilmu manajemen dari sebuah universitas di Australia.
Ketika pengunjung menikmati makanan atau sekadar nongkrong di resto, tanpa disadari mereka disuguhi suasana serta berbagai benda yang memiliki nilai sejarah. "Cara ini ternyata cukup jitu. Setelah makan, mereka tidak langsung pulang. Mereka menyempatkan diri melihat-lihat aneka koleksi yang ada, lalu banyak bertanya," kata Dwi.
Kota Malang sendiri, lanjut Dwi, merupakan salah satu kota di Indonesia yang di zaman dulu memiliki tata kota terbaik di Indonesia, bahkan pernah diikutkan Pemerintah Hindia Belanda untuk ikut lomba tata kota di Prancis. Itu terbukti dari sejumlah foto atau gambar tata letak Kota Malang yang koleksinya dimiliki Dwi, si penggagas pesta tahunan Malang Tempo Doloe.
Tak hanya suasana saja, pramusiaji ketika melayani tamu juga selalu menggunakan busana tradisonal malangan, termasuk ketika menyambut tamu dengan Bahasa Jawa. "Kecuali kalau tamunya tidak bisa Bahasa Jawa, komuniksinya menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa asing," imbuh Dwi seraya mengatakan, barang-barang koleksi itu sebagian besar pemberian orang lain.
Kendati memiliki banyak barang bernilai sejarah, namun Dwi tak mau disebut sebagai kolektor. Ia lebih suka disebut pecinta barang bersejarah. "Kalau kolektor, kan, kesannya identik dengan jual beli benda bersejarah. Padahal, saya tidak suka menjual. Saya justru menyimpan benda bersejarah," pungkasnya.