Duka Lara Bunda Maureen (1)

By nova.id, Selasa, 8 Maret 2011 | 17:05 WIB
Duka Lara Bunda Maureen 1 (nova.id)

Tanggal 27 Desember, perawat datang untuk homecare, sekaligus mengajariku mengganti perban dan merawat Maureen. Nah, waktu perawat mengganti perban, aku melihat ruas kelingking Maureen lepas. Seperti gigi yang tanggal, keluar darah. Maureen menangis kencang, mungkin kesakitan. Ya, Maureen memang kerap menangis usai operasi. Dagingnya, kan, kelihatan. Saat dikasih cairan obat, dia pasti menangis.

Rasanya aku tak percaya melihat dengan mata kepala sendiri proses Maureen kehilangan ruas jarinya. Jangan tanya perasaanku. Aku yang mengandung, melahirkan, dan merawat, pasti merasakan kesakitannya. Aku semakin bingung dan terus bertanya-tanya, "Masak iya demam bisa membuat ruas jari putus?" Kayaknya, aneh sekali. Tapi, ini terjadi pada anakku!

Hari berikutnya ketika kontrol, aku minta penjelasan dokter. Lagi-lagi mereka mengatakan, "Ini adalah risiko. Kejadian yang tidak diharapkan." Aku dan suami ingin bertemu dengan direksi rumah sakit untuk meminta tanggung jawab mereka. Akhirnya memang bisa bertemu, tapi jawabannya tidak memuaskan kami. Sama saja dengan jawaban dokter sebelumnya, "Ini risiko dari tindakan medis dan kejadian yang tak diharapkan."

Pihak rumah sakit mengatakan akan merawat tangan Maureen secara gratis. Tapi, mereka tak menjelaskan sampai kapan. Untuk ke depan, Maureen masih perlu operasi lagi. Aku, sih, berharap mereka mau membiayai sampai pengobatan Maureen tuntas.

Yang mengherankan, dr. Robert yang semula merawat Maureen, justru terkesan menghindar. Pernah kutelepon, tapi tidak diangkat. Aku SMS juga tidak dijawab. Padahal, aku hanya ingin tanya soal susu untuk Maureen. Sebelumnya sikapnya tidak begitu. Malah, aku bisa konsultasi via telepon.

Khawatir Masa Depan

Yang membuatku dan suami sangat kecewa, pihak rumah sakit tidak pernah merasa bersalah. Mereka tidak pernah minta maaf. Itu sebabnya aku memilih jalur hukum. Sekarang, aku menyerahkan semuanya ke kuasa hukumku, June Mandahley, S.Kom, SH. Pak June yang mengatur semua aspek hukumnya.

Akan halnya Maureen, hingga kini dia masih tetap harus kontrol dokter. Wah, dia sekarang jadi sering nangis ketimbang dulu. Kalau sudah marah, susah mendiamkannya. Padahal, sebelum sakit, dia tidak begitu. Apakah ia merasa kesakitan? Sepertinya ia menjadi lebih sensitif.

Sering aku menyaksikan Maureen saat ia di tempat tidur. Sambil berbaring, dia mengangkat kedua tangannya, lalu melihat kelingkingnya yang putus. Eh, tiba-tiba dia menangis. Aku tentu enggak mengerti apa yang ia rasakan. Aku mencemaskan keadaannya nanti kalau ia sudah besar. Bisa saja nanti ia diejek teman-teman sekolahnya karena tak punya kelingking. Apalagi, tangan kanannya jadi tak normal. Dia tak bisa menggenggam. Kalaupun berusaha meraih sesuatu dengan tangannya, pasti akan jatuh lagi. Tentu aku berharap, meski tak punya kelingking, tangan kanannya normal berfungsi. Andaikan tidak, mungkin ia akan kesulitan.

Aku belum tahu, apa yang akan kulakukan nanti untuknya. Sebisa mungkin aku akan mendidiknya supaya tegar, tak perlu malu dengan cacat tangannya. Hanya saja, sampai sekarang, aku belum memikirkan bagaimana nanti cara mendidiknya. Aku tidak ingin dia tumbuh menjadi anak lemah.

Henry Ismono / bersambung