Kawasan kuliner ini diresmikan oleh Menteri Perindustrian Marie Elka Pangestu pada 13 April 2008. Ini adalah proyek kerjasama Departemen Perindustrian dan Pemerintah Solo. Bahkan, gerobak para penjualnya pun merupakan pemberian Departeman Perindustrian.
Menurut Yani Puol, karyawan Gudeg Ceker Bu Kasno, sejumlah nama besar pemilik usaha kuliner di Solo memang sengaja diundang untuk buka cabang di Galabo. Alhasil, Gudeg Bu Kasno yang ada di kawasan Margoyudan dan biasa buka dini hari, di Galabo jadi buka sore hari. Pengunjung di Galabo, kata Yani, relatif banyak. "Bisa ratusan orang setiap malam, tapi tetap lebih banyak pelanggan di Margoyudan."
Sate Buntel H. Bejo di Galabo pun merupakan pengembangan usaha yang dikelola, Atmanto, anak ke 5 H. Bejo. Bagi Atmanto, berjualan di Galabo cukup kondusif. Selain pengunjungnya banyak, biaya sewa lokasi juga terhitung murah. Seharinya hanya Rp 15 ribu. "Harga itu sudah termasuk listrik dan PPN," kata Atmanto.
Harga makanan dan minumannya pun relatif murah, seperti yang ada di warung utama. Misalnya saja paket gudeg ceker, nasi, dan segelas es teh manis hanya Rp 8.500. Sementara seporsi sate buntel Rp 19 ribu, atau bestik lidah seharga Rp 14 ribu.
Kalaupun ada kendala yang dirasakan para pedagang di kawasan ini, hanya berkaitan dengan cuaca, misalnya ketika turun hujan. "Lokasi Galabo, kan, ruang terbuka, jadi otomatis pengunjung bakal sepi kalau hujan," papar Atmanto.
Berkaitan dengan hal ini, direncanakan Galabo akan mengalami perbaikan. Sebab, bagaimanapun juga, lokasi wisata kuliner ini cukup berhasil menggairahkan dunia wisata pada umumnya di kawasan Solo. Beberapa kota lain kabarnya telah ikut mengadopsi konsep Galabo ini.
Ahmad Tarmizi / bersambung
FOTO: Ahmad Tarmizi