Di Surabaya, rumah makan Nasi Pecel Bu Kus yang terletak di Jalan Barata Jaya, tiap jam makan siang selalu dipenuhi pembeli.
Kejayaan rumah makan Nasi Pecel Bu Kus ini tentu diperoleh melalui proses panjang yang dilakukan perintinsya, Sri Banekowati dan suaminya, Kusnadi. "Waktu pertama kali buka, warung ini masih termasuk kelas kaki lima. Tapi, sekarang bisa dilihat sendiri. Siang hari, pembelinya kebanyakan bermobil," kata Dino Markiano (37) anak keempat dari mendiang Sri Banekowati.
Dino, menjelaskan, mendiang ibunya membuka usaha sejak tahun 1993, setelah ayahnya Kusnadi (nama panggilan Kusnadi dijadikan nama rumah makannya) berhenti jadi kepala desa di Madiun dan pensiun dari TNI AU.
Pada awalnya, hanya menyewa sepetak ruangan 3 x 3 meter milik perusahaan air mineral di Barata Jaya. "Karena sempit, pembeli terpaksa duduk di luar warung di pinggir jalan. Jadi kalau petugas ketertiban datang, tendanya digulung," cerita Dino yang saat itu masih kuliah di Universitas Brawijaya, Malang.
Namun, usaha itu makin hari makin berkembang. Pembeli makin membludak sehingga harus menyewa lagi lahan yang lebih luas di belakangnya. Tahun 1998 terjadilah krisis ekonomi. "Biasanya, orang bermobil makan di restoran besar, tapi karena krisis lalu beralih makan ke warung Ibu. Menu utama kami memang nasi pecel, tapi kami juga menyediakan menu lain," jelas Dino. Sayang, mendadak ibundanya mengalami kecelakaan lalu-lintas di tahun 2001 hingga meninggal dunia. "Kami semua syok, terutama Bapak," kenang Dino.
Jadi Bos
Oleh empat saudaranya, Dino kemudian didaulat menjadi penerus usaha ibunya. "Jujur saja, pada awalnya saya tergagap-gagap. Maklum saja sebelumnya, kan, saya bekerja di bidang pertambangan, tiba-tiba disuruh jualan nasi pecel, kan, repot juga," kata bapak dua anak berbadan subur itu sambil tertawa.
Mau tak mau, suka tak suka amanat keempat saudaranya harus diemban. Mind set Dino yang semula sebagai karyawan, diubah total menjadi bos warung makan dengan membawahi banyak karyawan. Untungnya, masalah cita rasa bumbu pecel sejak awal dibuat oleh sang ayah.
"Sebenarnya Ibu tidak seberapa pandai memasak, tapi justru Bapak yang pandai. Sebaliknya, Bapak tidak terbiasa melayani pembeli, tapi Ibu yang supel," imbuh Dino.
Dino pun segera berbenah dan mengembangkan insting bisnisnya. Salah satunya, merenovasi rumah makan jadi lebih asri, ruangannya pun dilengkapi AC, tempat duduk diganti lebih bagus. Pelayan juga dipilih yang terdidik dan cekatan. "Dulu, Nasi Pecel Bu Kus semi kaki lima. Tapi sejak saya pegang, semua jadi kelas restoran. Tempat cuci piring, kursi dan perlengkapan makan saya ubah. Ayah sekarang tak ikut mengelola karena sudah percaya pada saya."
Warung pecel kaki lima itu, kini memang sudah berubah jadi restoran yang bersih, bahkan memiliki empat cabang di Surabaya. Dalam waktu dekat, Dino akan menambah satu cabang lagi. Soal harga, Dino pun tak mau berubah drastis. "Sepiring nasi pecel hanya Rp 9 ribu. Porsi kecil tetap Rp 7 ribu," terang Dino yang kini memiliki 50 karyawan.
Debbi, Gandhi