Grafologi hanyalah alat atau tools yang membantu mengetahui potensi anak, juga tools untuk membantu orang tua mengetahui potensi anak dan cara berkomunikasi dengannya. Setelah dianalisis, kekurangan-kekurangan tadi bisa diterapi dengan grafoterapi, salah satunya dengan mengubah bentuk huruf. Misalnya, anak yang pesimis. Kalau tidak segera diatasi, anak bisa depresi. Atau anak cenderung agak serakah (greedy), kalau tidak segera diatasi bisa keterusan.
"Jadi, sebetulnya yang diperbaiki adalah hal-hal kecil yang vital. Bahkan hanya karena kecerobohan, segalanya bisa kacau, kan?"
Contohnya anak yang tidak suka mentaati aturan (the rule is not the rule), suka berbohong, atau anak yang banyak akal. Banyak akal ini bisa positif tapi bisa juga negatif. Mungkin ia bisa mencari solusi secara cepat, tapi kalau tidak diberi pengertian, anak yang banyak akal bisa menjadi anak yang banyak alasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ia punya rasionalisasi karena pandai. Nah, ini yang nantinya akan mengurangi hasil kerjanya.
Anak juga diajarkan untuk memiliki time dan self management yang baik. Setiap orang mempunyai cara kerja sendiri-sendiri. "Suka dan potensi itu tidak ada hubungannya. Bisa saja anak suka menyanyi, tapi belum tentu ia berpotensi di sana. Apalagi kalau tanya anak di bawah 16 tahun," lanjutnya.
Selain itu, anak juga diajarkan self healing yang sangat sederhana dan praktis, misalnya kalau sedang cemas, apa yang harus ia lakukan, sehingga tak perlu balik lagi ke terapis. Jika gaya huruf anak sudah diperbaiki, anak juga memiliki self management (pola belajar) dan self healing yang bagus, maka potensinya akan bisa dioptimalkan.
Hasto Prianggoro / bersambung