Mutilasi Ala Muntilan: Andai Saja Tutik Minta Maaf (1)

By nova.id, Senin, 6 Desember 2010 | 17:06 WIB
Mutilasi Ala Muntilan Andai Saja Tutik Minta Maaf 1 (nova.id)

Mutilasi Ala Muntilan Andai Saja Tutik Minta Maaf 1 (nova.id)
Mutilasi Ala Muntilan Andai Saja Tutik Minta Maaf 1 (nova.id)

""

Sakit Hati 

Sekitar empat tahun saya memendam masalah rumah tangga ini, tapi Tutik tak pernah mau bertobat. Malah, perselingkuhan Tutik dengan seorang pria muda yang juga berprofesi sebagai sopir angkutan kota, semakin menjadi. Seakan tanpa hati dan perasaan, ia melakukannya secara terang-terangan di depan mata saya.

Pria itu pun bahkan sudah berani datang ke rumah dan bercinta di ranjang kami. Ret cerita, ia pernah melihat mereka berangkulan. Sekali lagi saya minta penjelesan Tutik tentang perselingkuhan di kamar itu, dan tanpa malu ia mengakuinya. Tapi, lagi-lagi, saya kembali memaafkan ketika Tutik bersimpuh di kaki saya memohon ampun.

Nah, di hari kejadian itu, Minggu (21/11) sekitar jam 08.00, ketika baru bangun tidur saya mendapati SMS di ponsel dari pria muda selingkuhan Tutik. Pria itu mengajak Tutik berkencan. Kecemburuan saya pun bangkit. Saya menanyakan isi SMS itu dengan nada suara pelan. Tapi anehnya, kali ini Tutik tak mau meminta maaf.

Sebaliknya, istri saya itu justru mulai berani mengusir dan meminta saya membayar uang kontrakan sebelum angkat kaki. Dada saya terasa sesak dan sakit mendengarnya. Setega itu Tutik memperlakukan saya, suaminya sendiri. Padahal, selama ini saya banting tulang untuk membiayai hidupnya dan anak tiri saya yang tinggal bersama mantan suaminya.

Kekecewaan dan emosi saya hari itu terus membuncah. Entah apa yang kemudian merasuki diri saya, saat kami masih berada di tempat tidur, sekonyong-konyong saya mengambil batu wungkal (batu untuk mengasah benda tajam) yang ada di sisi tempat tidur. Tanpa pikir panjang, batu itu saya hantamkan ke kepala Tutik. Buk! Buk! Buk! Tiga kali saya hantamkan batu itu dan melakukannya sambil memejamkan mata karena sebetulnya saya tak tega.

Seketika itu pula Tutik terdiam. Saya pikir, Tutik hanya pingsan. Bahkan saya sempat tertidur lagi di sisinya. Ketika bangun, saya mendapati tubuh Tutik terasa dingin. Ternyata dia sudah tak bernyawa lagi!

Masih Cinta

Ya Tuhan, sungguh saya tak bermaksud membunuhnya. Saya hanya kesal dan ingin memberi pelajaran pada Tutik. Di depan jasad Tutik, saya hanya bisa menangis dan menyesali diri. Andaikan saja Tutik mau minta maaf, pasti hal buruk ini tak akan terjadi.

Di tengah rasa panik, bingung, dan tak tahu akan saya apakan jasadnya, saya malah seperti terkesima. Cukup lama juga jasad Tutik ada di kamar. Saya sebetulnya masih menyayanginya sehingga merasa tak ingin segera menyingkirkan jasadnya. Namun, di sisi lain saya tahu, kalau jasadnya saya simpan terus, tentu akan mengeluarkan bau.

Menjelang malam akhirnya jasad Tutik saya potong jadi sembilan bagian. Anehnya, tak banyak darah yang keluar dari tubuh Tutik. Daging dan isi perutnya saya ambil dan masukkan ke dalam kardus, kemudian saya buang ke sungai di Pabelan. Sedangkan tulang-belulang dan kepalanya saya simpan dalam ember besar dan panci besar yang ada di kamar mandi. Semua kerangkanya masih lengkap. Untuk mengurangi bau busuk yang mulai menguar, saya taburkan bubuk kopi di sekitarnya.

Kalau boleh jujur, saya memutilasi Tutik bukan untuk menghilangkan jejak. Toh, saya memotong tubuhnya tanpa sarung tangan dan sambil menangis. Saya hanya ingin menyimpan jasadnya. Cuma, kalau masih ada dagingnya, pasti akan sangat bau. Makanya kerangka dan kepala Tutik saja yang saya simpan.

Tulangnya juga ada yang sudah saya simpan di pipa pralon. Saya sudah berniat, kalau nanti pindah rumah, kerangka itu akan selalu saya bawa karena saya masih sangat mencintai Tutik. Agar orang lain tak tahu, termasuk Ina (anak kandung Tutik, Red.) yang suka datang ke rumah, kunci rumah pun saya ganti.

Langsung Mengaku

Selama sembilan hari sisa jasad Tutik saya simpan di rumah. Jika saya ada di rumah, sisa jasad Tutik itu saya jaga dan saya memilih tidur di ruang depan. Sejak itu saya stres dan rasanya sudah seperti orang gila saja.

Saya pun hanya bisa pasrah ketika akhirnya polisi bisa menemukan jasad Tutik. Waktu polisi menangkap saya, saat sedang bekerja dan dalam perjalanan ke Jakarta, saya pun tak menyangkal barang sedikit pun. Saya langsung mengaku telah membunuh Tutik.

Kendati demikian, saya selalu berdoa, semoga dosa-dosa Tutik diampuni. Begitu juga dosa saya. Semoga Tutik tenang di alam baka dan saya mendapat hukuman ringan. Sebab, saya harus bekerja untuk menafkahi anak-anak saya.

 Ahmad Tarmizi / bersambung