Denny memang tak akan kembali lagi ke kami. Kini kami hanya bisa mengenang anak kami yang berwajah ganteng dan selalu berprestasi di sekolah. Dia juga suka menari poco-poco. Sejak kecil, hobinya memang menari dan menyanyi. Kala duduk di bangku SMP hingga SMU, Denny menjadi pelatih tari buat teman-temannya.
Sungguh kami tidak tahu apakah Deny selama ini memendam masalahnya sendirian. Dia memang tipe anak pendiam seperti diriku. Tetapi bila ada persoalan, biasanya Denny berbagi cerita denganku. Jadi, sepanjang pengetahuanku, dia tidak punya persoalan besar.
Ah, sudahlah. Aku kini lebih sering bertemu Denny dalam mimpi. Kami pun masih sering terbangun tengah malam karena mimpi tentang dia. Ayahnya juga kerap terbangun karena merasa dipanggil Denny. "Bapak...Bapak...'"
Yang membuat kami sedih, entah ke mana kami harus menuntut kematian Denny, anak "mahal" kami.
Kami sebut Denny anak mahal karena saat hamil, usiaku sudah 36 tahun. Kondisi kehamilanku payah sekali. Aku keluar- masuk rumah sakit. Mudah sekali mual-mual. Itu terjadi sepanjang kehamilan. Saat bersalin pun (30 September 1992) melalui operasi Caesar. Sungguh perjuangan berat untuk mendapatkan Denny dan setelah kami rawat sampai dewasa, kenapa ia harus meninggal secara mengenaskan?
Beruntung kami sudah bisa ikhlas. Biar Allah yang membalas perbuatan orang yang mencelakai Denny. Kami percayakan penyelidikan kematiannya pada polisi. Kini kami hanya menyimpan tas ospek Denny yang sudah kotor sebagai kenang-kenangan di kala kami merindukannya. Mudah-mudahan kau sudah tenang di sana, Nak...
Ahmad Tarmizi