Kisah Miris istri Masinis Argo Bromo (1)

By nova.id, Rabu, 13 Oktober 2010 | 17:01 WIB
Kisah Miris istri Masinis Argo Bromo 1 (nova.id)

Kisah Miris istri Masinis Argo Bromo 1 (nova.id)

"Ade Sukarni (Foto: Ahmad Fadillah) "

Sejak suaminya ditetapkan sebagai tersangka kecelakaan Kereta Api Argo Bromo di Stasiun Petarukan, Pemalang, istri masinis Halik Rudianto (50) tak pernah bisa tidur nyenyak. Ade Sukarni (48) cemas akan nasib suaminya dan kelangsungan hidup keluarganya ke depan.

"Ma, bangun, kereta Bapak tabrakan!" begitu menantuku membangunkanku di pagi itu. Segera saja aku terjaga. Rasa kantuk mendadak sirna kendati hari masih begitu pagi, sekitar jam 04.00. Sepagi itu Sabtu (2/10), menantuku sudah bangun dan menonton teve.

Dari tayangan teve pula ia mengetahui berita mengejutkan itu. Katanya, KA Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya menabrak KA Senja Utama jurusan Jakarta-Semarang di Stasiun Petarukan. Aku langsung lemas. Masinis KA Argo Bromo itu suamiku, Halik Rudianto!

Dua anak kami, Heni (24) yang sudah menikah dan tinggal bersama kami, juga si bungsu Dwita Anggrek Kinanti (12), ikut-ikutan terbangun. Sambil berharap-harap cemas, kami terus menyimak perkembangan berita kecelakaan itu. Aku sungguh khawatir kalau-kalau suamiku ikut jadi korban. Apalagi melihat jumlah korban yang begitu banyak. Kami pun jadi menangis sesenggukan. Tetangga sekitar yang mendengar tangisan kami kemudian berdatangan ke rumah kami, di Dusun Pundong, Karawang. Mereka mencoba menenangkan kami.

Cemas Nasib

Dengan penuh rasa galau, kami mencoba menelepon suamiku. Entah kenapa, telepon genggamnya tidak aktif. Perasaan kami semakin tidak menentu karena tidak tahu persis bagaimana kondisinya.

Pagi itu juga, adik suamiku, Ririn, datang ke rumah, ingin mengetahui kabar kakaknya. Akhirnya kami putuskan ramai-ramai berangkat ke Stasiun Kosambi. Kami naik KA Cirebon Ekspres menuju Stasiun Jatinegara, tempat kerja suamiku. Tiba di sana, kami langsung menemui Pak Sungkono, pimpinannya. "Bagaimana kondisi suami saya, Pak?" tanyaku langsung. Sejenak aku lega mendengar jawabannya, "Kondisi Bapak baik-baik saja, hanya lecet sedikit. Ibu tenang saja. Terus berdoa, ya, Bu, semoga semuanya baik-baik saja."

Ah, Tuhan telah mendengar kami. Usai itu, kami langsung kembali ke rumah. Namun, kebahagiaan itu ternyata tak berlangsung lama karena kemudian aku mendengar suamiku jadi tersangka kasus tabrakan KA itu. Suamiku dianggap lalai dan harus menjalani pemeriksaan sekaligus ditahan di kantor polisi. Yang membuatku ketakutan, ancaman hukumannya cukup berat, yaitu lima tahun penjara!

Jujur aku tak bisa membayangkan seandainya ia benar-benar harus menjalani hukuman selama itu. Entah bagaimana nantinya kelangsungan hidup kami jika ia dipenjara sekian lama karena dialah satu-satunya tulang punggung keluarga. Gajinya sebagai masinis memang tidak besar, tapi bisa menopang kebutuhan kami kendati hanya untuk hidup sederhana.

Belum Jenguk

Tapi apalah dayaku kecuali hanya berpasrah diri. Bahkan hingga hari ini pun, aku belum bisa menemuinya. Hanya sekelebat aku pernah melihat wajahnya saat diperiksa polisi. Itu pun hanya dari tayangan teve. "Eh, itu Abah lagi minum!" seru sucu kami, Raka (2,5) ketika melihat kakeknya ada di layar kaca.

Sepanjang ingatanku, di hari naas itu suamiku bertugas sebagai masinis untuk perjalanan malam dari Stasiun Gambir menuju Surabaya. Biasanya ia hanya bertugas sampai Stasiun Pekalongan, selanjutnya diganti oleh masinis lain.

Saat akan berangkat tugas, tidak kulihat tanda-tanda yang aneh. Sebelumnya, ia hanya minta dibuatkan minuman segar. Lalu kubuatkan minuman jeruk instan. Setelah diminum, ia bersiap berangkat kerja. "Hati-hati, jaga anak," katanya pada Heni, anak sulung kami. Seperti biasanya, aku pun berpesan kepadanya agar berhati-hati saat bertugas.

Sebagai istri masinis, aku tahu tugas suamiku berat dan berisiko. Bila membawa penumpang dan terjadi musibah, tentu masinis yang harus bertanggung jawab. Perihal risiko masinis, aku paham betul karena ayahku dulu juga seorang masinis kereta api langsir.

Ah, seandainya tahu bakal ada kejadian ini, tentu saja aku melarangnya berangkat kerja. Tapi semua sudah terjadi, bukan? Meskipun berusaha tabah, aku tetap berharap agar selama menjalani pemeriksaan ia senantiasa sehat. Sebenarnya aku ingin sekali mendampinginya, namun kabarnya ia belum boleh dijenguk. Teman dan saudaranya yang berniat menjenguk juga belum diizinkan.

Yang kudengar, suamiku kini dinyatakan sebagai tersangka, namun pihak kantor pun belum memberitahu soal status tersebut. Itu sebabnya aku jadi terus bertanya-tanya, apakah suamiku nanti akan tetap menerima gaji? Apakah ia akan diberhentikan sebagai masinis? Entahlah. Lebih baik aku tidak memikirkan hal itu. Aku berdoa dan berharap yang terbaik saja.

 Henry Ismono / bersambung