Suatu malam, Yuliati (29) mendapat kabar tak sedap. "Ayahmu dirampok!" ucap Yuli menirukan kalimat kerabatnya yang datang tergopoh-gopoh ke rumahnya. Ibu dua anak ini pun bergegas naik sepeda motor, meluncur ke rumah ayahnya, Samuri (50), di Desa Ranuyoso, Lumajang. Di situ, sang ayah tinggal bersama ibu tiri Yuli, Nami (40).
"Sampai situ, saya malah dilarang masuk oleh polisi. Tapi saya agak lega karena polisi itu bilang, bapak saya enggak apa-apa, hanya lecet di wajahnya," papar Yuli ketika ditemui Kamis (7/10) silam. Yuli semakin percaya ayahnya baik-baik saja begitu melihat ibu tirinya tidak menderita luka apa pun. Ibu tirinya itu hanya mengaku merasa agak sakit pada lengan kiri dan kanan akibat dipukul perampok dengan batang kayu. "Malah saya sempat memijit punggungnya dan memberi minyak angin karena katanya dia agak pusing dan mau pingsan."
Selang beberapa saat, Nami dibawa pergi oleh polisi. Saat itulah Yul mendapat kabar bahwa sebetulnya sang ayah sudah tiada. "Saat itu saya sudah curiga, kenapa Bapak terbunuh tapi Nami segar bugar? Dia, kan, tidur seranjang dengan Bapak?" kata bungsu dari tiga bersaudara itu.
CUMA ALASAN Baru belakangan kecurigaan Yuli terjawab. Ternyata, aksi perampokan yang menewaskan ayahnya itu hanya sandiwara yang disutradari ibu tirinya. Yang benar, ayahnya menjadi korban pembunuhan dari dua pria yang dibayar Nami. "Meski pada awalnya saya melihat ada keganjilan, tapi tetap saja saya kaget setelah tahu ternyata Nami yang ada di belakang semua itu. Saya enggak ngerti kenapa dia setega itu pada suaminya sendiri?" kata Yul yang didampingi ibu kandung alias mantan istri Samuri, Fatimah.
Masih dengan suara tinggi, Yuli bertutur, alasan ibu tirinya membunuh sang ayah adalah karena perlakuan kasar yang diterimanya. "Itu cuma alasan dia! Kalau enggak sanggup merawat dan tak kuat hidup bersama ayah saya, pasti sudah sejak dulu dia sudah cerai. Kenapa harus dibunuh? Saya dan anak-anak Bapak lainnya masih sanggup, kok, merawat Bapak."
Ungkapan senada dilontarkan Imron (29), anak sulung Samuri-Fatimah. "Sejahat apa, sih, Bapak saya sampai harus dihabisi oleh pembunuh bayaran seperti ini?" ujar pelatih burung elang pada sebuah lembaga konsevasi binatang di Jakarta itu. Bahkan mantan istri Samuri, kecewa karena Nami melakukan perbuatan keji itu. "Meski sudah cerai sejak 22 tahun lalu, sebagai bekas istrinya saya tahu persis watak Pak Samuri. Dia tidak jahat seperti yang dikatakan nami," kata Fatimah yang tetap berhubungan baik dengan Samuri.
Justru, sambung Yuli, samuri adalah sosok yang pendiam dan tidak banyak ulah. "Bapak itu ibarat kendang, kalau tidak ditabuh tidak akan bunyi. Pendiam sekali. Jadi, enggak mungkin Bapak berlaku kasar seperti yang diakui Nami pada polisi."
LELAH LAHIR BATHIN Meski tak ada yang mau percaya, toh, Nami yang kini berstatus tersangka, bersikukuh dengan keterangannya. "Selama 20 tahun menikah dengan Samuri, rasannya saya tidak pernah bahagia." Perempuan berkulit gelap dengan tatapan mata tajam itu mengaku, perbuatannya itu merupakan puncak dari segala kejengkelan yang sudah terpendam selama 10 tahun. "Saya sudah tidak kuat lagi hidup dengan Samuri. Pikiran saya benar-benar buntu, makanya saya nekat," katanya terus terang.
Ia lalu berkisah, menikah dengan Samuri atas kemauan orangtuanya. Sebagai anak desa, "Saya menurut saja ketika dijodohkan dengan Samuri yang kala itu sudah cerai dari Fatimah dan punya tiga anak." Di awal perkawinan memungkiri pernah merasakan kedamaian. "Soalnya dia kelihatannya baik, pendiam, dan bisa dijadikan panutan."
Semua itu berubah, lanjut Nami, ketika Samuri yang sehari-hari berjualan kelapa dan buah-buahan saat anak tunggal mereka, Fauzi (17) baru mulai belajar jalan. 'Dia jadi kasar. Semua persoalan rumah tangga pasti berujung kekerasan. Yang namanya ditempeleng, ditendang, dipukul, sudah jadi makanan saya sehari-hari. Kadang malah saya enggak ngerti apa pangkal masalahnya tapi saya lalu dipukuli," kisahnya menggebu-gebu.
Masih menurut cerita Namin, tiga tahun belakangan ini perangai buruk Samuri makin menjadi-jadi. Itu bertepatan dengan kegiatan Nami membuka warung makan dan kopi di pinggir jalan raya Pasar Ranuyoso. "Kalau ada laki-laki datang membeli kopi dan bercakap-cakap dengan saya, begitu orangnya pergi, dia langsung menempelengi saya. Padahal, mana ada penjual kopi yang tidak ngobrol dengan pembelinya?"