Begitulah, ketika tersadar, ternyata aku sudah berada di Ruang ICU. Aku mendapati kaki kananku sudah tak ada. Sebelum diamputasi, aku memang melihat kaki kananku hancur. Saat itu sebenarnya aku sudah pasrah. Kakiku tak mungkin diperbaiki.
Masih kuingat, sebelum operasi dilakukan, keluargaku menangis histeris. Padahal, aku justru tidak sehisteris mereka. Justru setelah melihat mereka sedih, aku jadi ikut-ikutan sedih. Terlebih dikerubuti banyak orang yang melihat lukaku. Justru itu yang membuatku merasa paranoid.
(Ibu mertua Ani, Hertikswarukmi, yang turut menunggui Ani di RS, mengaku sempat pingsan saat pertama kali melihat keadaan kaki kanan Ani yang hancur. Kakak Ani, Yati, dan Hermawan pun memandangi Ani dengan berurai air mata dan tampak amat bersedih. Mereka tak yakin benar, apakah Ani sungguh tidak bersedih meski harus kehilangan kaki kanannya, atau sebenarnya hanya menyembunyikan kesedihannya?
Oleh karena itu, beberapa hari setelah kaki Ani diamputasi, keluarga sengaja mendatangkan ustaz untuk memberinya siraman rohani. Sejak itu, menurut mereka, mental Ani berangsur-angsur pulih, bahkan bisa kembali ceria.)
Lahir Tanpa Nyawa
Apa yang kurasakan pasca amputasi? Pusing luar biasa! Tangan kananku yang terlindas bus, sekarang masih digips. Setiap suster mengganti perban pembalutnya, aku berteriak-teriak saking sakitnya. Terlebih saat perbannya dibuka, kulit tanganku ikut terkelupas. Rasanya perih tak terkira. Jika sedang kesakitan begitu, dokter segera memberiku suntikan untuk membuatku tidur.
Selain suntikan tadi, aku juga diberi bermacam-macam obat, baik lewat selang infus maupun diminum. Suster juga berkali-kali menyuntikkan jarum infus di tangan kiriku, sampai bengkak sekujur tangan. Terakhir, jarum suntik itu dimasukkan lewat leher. Tak begitu sakit dan lumayan mengurangi bengkak-bengkak di tangan.
Kabar buruk berikutnya pun menyusul. Bayi perempuan yang sedang kukandung, ternyata tidak bisa dipertahankan. Mungkin karena aku kehilangan banyak darah atau mungkin juga akibat aku dioperasi dan tak sadarkan diri. Padahal, bayi itu akan menjadi anak sulung kami. Kami urung berbahagia lantaran bayiku meninggal di dalam rahimku.
Aku sudah tak mampu menjelaskan lagi bagaimana perasaanku saat itu dan saat ini. Yang jelas, sebelum bayiku keluar dari rahim, aku kerap mual dan muntah. Aku hanya bisa minum karena tak sanggup makan.
Meski bayiku diketahui meninggal hari Kamis (1/7) pascaoperasi, dokter tidak serta-merta melakukan tindakan terminasi (mengeluarkan bayi yang meninggal di dalam kandungan sang ibu, Red.). Kata dokter, kondisiku tidak memungkinkan untuk menjalani operasi besar kedua. Makanya, aku hanya diberi obat perangsang agar mulas.
Setelah mulas sejak Kamis, akhirnya Minggu (4/7) malam, bayi kami lahir secara normal, meski sudah dalam keadaan tak bernyawa. Wajahnya cantik, bentuknya nyaris sempurna. Kasihan dia, wajahnya lebam, Mungkin terbentur keras saat aku terlempar dari sepeda motor.