Cerita Haru Korban Penculikan Babe (2)

By nova.id, Senin, 1 Februari 2010 | 05:09 WIB
Cerita Haru Korban Penculikan Babe 2 (nova.id)

Cerita Haru Korban Penculikan Babe 2 (nova.id)

"Rona dan sang bunda (Foto: Eng Naftali) "

Setamat SD, Bu Era tidak menyekolahkanku lagi. Mungkin karena tidak ada biaya. Aku sempat menganggur selama lebih dari setahun. Nah, mungkin terdesak kebutuhan, Bu Era terpaksa mencari nafkah ke Jakarta. Dia kembali berjualan rokok dengan gerobak di pinggir jalan di Pulo Gadung. Aku ditinggal di rumah bersama Nenek yang juga sangat menyayangiku. Sesekali aku diajak Bu Era ke Jakarta. Di gerobak rokok itulah kami tinggal.

Suatu kali, seorang pedagang koran tak jauh dari gerobak Bu Era, menunjukkan wajah Agus yang terpampang di koran sebagai pelaku penculikan delapan anak. Pedagang koran itu tahu, Agus adalah suami Bu Era. Betapa terkejutnya Bu Era ketika membaca berita di koran itu. Sebelumnya, kata Bu Era, ia mengira suaminya membawa anak-anak jalanan untuk diasuh. Yang lebih mengejutkan lagi, koran yang terbit di hari berikutnya, menyebut nama Nina. Aku ikut membaca berita itu. Ternyata aku adalah anak korban penculikan. Aku dan Bu Era sama-sama menangis. Bu Era kesal telah dibohongi suaminya.

Sore setelah membaca koran, ada polisi datang ke gerobak Bu Era. Kami lantas dibawa ke kantor polisi. Dari sanalah aku tahu, kedua orangtua kandungku masih hidup. Sedih rasanya ketika Bu Era pulang dari kantor polisi tidak boleh membawaku. Bu Era, kan, sudah seperti ibuku sendiri. Dia menangis terus sampai pingsan karena tidak diizinkan membawaku.

Di kantor polisi, aku dipertemukan dengan Mama. Aku bahagia ternyata masih punya keluarga yang sebenarnya. Mama memelukku sembari menangis bahagia. Sementara aku malah agak kagok. Begitu juga ketika bertemu Papa di rumah yang saat itu sedang stroke.

Ketika pertama kali dibawa pulang ke rumah, aku melihat kaca lemari yang pecah. Ingatanku langsung kembali pada kejadian di masa kecil. Akulah yang memecahkan kaca lemari itu! Untuk memastikan, kutanyakan ke Mama. Ternyata benar. Tetapi, ketika Mama menyodorkan foto ulang tahunku ke-5, aku tak ingat lagi.

Beberapa hari tinggal di rumah Mama, aku merasa masih sedikit agak terasing di tengah keluarga sendiri. Namun lambat laun bisa menyesuaikan diri karena seluruh keluarga menyambutku dengan baik. Tetangga dan kerabat juga menangis saat melihatku kembali setelah sembilan tahun hidup dalam penculikan.

Sayangnya, kebahagiaanku bersama Papa hanya seminggu. Ia meniggal karena kena serangan jantung ketika sedang tiduran di kursi tamu. Padahal, Papa telah mendamba menemukanku selama sembilan tahun!

Mama kemudian menyekolahkanku ke jenjang SMP. Anehnya, ada rasa rinduku pada Bu Era. Sekali-dua kali, aku menjenguk Bu Era di gerobaknya di Pulo Gadung. Untuk menyenangkan hatinya, kubawakan makanan. Aku datang sekadar melepas kangen. Aku rasa dia juga merindukanku. Bu Era sudah kuanggap ibu sendiri. Dia telah merawatku seperti anak sendiri.

Tak Dendam

Sayangnya, Juli tahun 2000, aku mendapat kabar duka. Tetangga di Kuningan mengabarkan, Bu Era meninggal dunia. Tentu saja aku menangis sedih. Tangisku pecah. Bagaimana pun dia telah merawat aku dengan baik. Karena itu aku dan Mama melayat ke Kuningan.

Bagaiman dengan Agus? Beberapa waktu lalu, aku dan Mama melihat dia di lampu merah di Cakung. Kami sembunyi dari dalam mobil lantaran takut! Kami hanya bertanya-tanya, konon setelah penculikan itu, dia dihukum belasan tahun, kok, belum genap dua tahun sudah kelayapan lagi? Kami, sih, tidak dendam, hanya menyesalkan perbuatannya saja. Meski begitu aku bersyukur, selama dalam asuhan Bu Era tidak pernah diapa-apakan oleh Agus.

Yang tak pernah aku sangka adalah ketika beberapa minggu lalu diberitahu bahwa yang memutilasi anak-anak itu adalah Agus alias Babe! Aku terkejut sekali. Dulu, selama di Kuningan, aku memang melihat Babe sering membawa anak kecil. Dia kelihatan sayang sama anak-anak. Dirawat dan dimandikan. Tapi enggak menyangka sampai berbuat jahat.

Kehidupan terus berlanjut. Kini aku bekerja di sebuah mal besar di Jakarta dan sudah menikah dengan Mas Edi, seorang prajurit Angkatan Laut. Kami telah memiliki seorang anak umur 5 tahun. meski hidup bahagia, aku masih trauma dengan aksi penculikan. Itu sebabnya aku tidak pernah mengizinkan anak kami keluar rumah sendirian. Jangan sampai ia mengalami kejadian seperti aku dulu!Rini Sulistyati/bersambung