Penantian Panjang Ibunda Aka (1)

By nova.id, Senin, 7 Juni 2010 | 17:09 WIB
Penantian Panjang Ibunda Aka 1 (nova.id)

Penantian Panjang Ibunda Aka 1 (nova.id)
Penantian Panjang Ibunda Aka 1 (nova.id)

"Ibunda Teeza, Arie Moekmin (kanan) dan keluarga selalu memberi dukungan moral untukku (Foto:Daniel Supriyono) "

Mirip Mumi

Hingga Senin pagi, sekitar pukul 09.30, seorang instruktur Aka meneleponku, memberi kabar kecelakaan yang menimpa anak bungsuku itu. Tak pernah kuduga kecelakaan itu sangat fatal hingga menyebabkan anakku koma. Memang, risiko penerbang sangat tinggi, tapi aku mengira lukanya tak sampai separah ini.

Setelah minta izin kepada atasan, aku pun langsung meluncur ke rumah sakit dengan menggunakan taksi. Sesampainya di sana, meski tak sampai pingsan, aku cukup terhenyak melihat kondisi Aka. Dia baru saja di-CT Scan dan lukanya sedang dibersihkan. Tak bisa kulukiskan wajah Aka saat itu. Bengkak di mana-mana, hidungnya sampai tak terlihat karena tertutup bibir. Wajahnya mirip mumi setelah diperban. Pukul 12.00, Aka masuk ruang operasi untuk menjalani operasi pertama. Lima liter darah ditransfusikan ke dalam tubuhnya yang sudah kehilangan 3 liter darah.

Di rumah sakit, aku bertemu keluarga Moekmin, keluarga Teeza. Itu memang pertemuan pertama dan sejak itulah kami saling menguatkan satu sama lain. Malam hari, Romlan A. Gani, ayah Aka tiba dari Bengkulu, tempat ia bekerja. Sejak kami bercerai, Aka memang tinggal denganku, sementara ayah kandungnya menetap dan bekerja di Bengkulu. Dokter pun lantas memberi masukan, Aka tak perlu dievakuasi medis ke Singapura karena pihak rumah sakit bilang mereka masih mampu.

Sejak hari itu, selama dua minggu aku diberi izin tidak bekerja tanpa dispensasi dan tidak dipotong cuti untuk mengurus Aka. Di minggu pertama Teeza dan Aka di ruang ICU, tepatnya hari Jumat, Teeza berpulang ke Rahmatullah. Takutkah aku? Entahlah. Sejak mereka masuk ICU dalam kondisi koma, aku dan keluarga Moekmin sudah pasrah dan ikhlas. Pernah aku berkata pada Aka, "Nak, kalau sudah tidak kuat lagi, Mama ikhlaskan kamu pergi."

Dua Kali Tes

Menjadi penerbang memang sudah diidam-idamkan Aka sejak masih duduk di bangku sekolah. Kebetulan, kami tinggal di Parung Panjang yang tak jauh dari STPI. Tiap kali lewat kawasan itu, ia sering melihat taruna-taruna yang tampak gagah. Sepertinya sejak saat itu dia termotivasi menjadi taruna STPI.

Untuk menjadi taruna STPI, Aka harus menjalani dua kali tes. Pada 2008, tepatnya saat seleksi STPI untuk taruna angkatan 61, Aka gagal menembus tes bakat. Untungnya ia ia diterima di Ilmu Komputer Universitas Sriwijaya, Palembang. Jadi, selama setahun ia tak menganggur.

Oleh karena tekadnya sudah kuat, di tahun kedua, yaitu seleksi angkatan 62, Aka kembali mendaftar. Pulang pergi Jakarta-Palembang pun rela ia jalani. Setiap tahapan tes, aku selalu mengawasi dan memotivasi.

Syukurlah, kali kedua ini, ia lolos! Ia pun tak meneruskan kuliahnya di Unsri meski Aka juga sangat menyukai komputer sampai-sampai pekerjaaannya di rumah hanya merusakkan komputer saja. Ah, mengingat masa-masa itu, aku bahagia sekali rasanya.

Berbeda dengan Teeza, Aka tidak dilahirkan dari keluarga penerbang. Kalau kecelakaan ini tidak terjadi, Aka akan menjadi penerbang pertama di keluargaku. Ia juga seringkali menggoda Ayu, kakaknya yang kini masih kuliah di Bandung, "Lihat saja nanti kalau aku sudah jadi pilot, nanti aku jalan-jalan ke banyak tempat." Sayangnya, Tuhan berkehendak lain.

Sosok Aka berbeda dengan anak kebanyakan. Ia lebih banyak diam di rumah, mengutak-atik komputer atau main game. Dia juga anak yang santun, baik, dan tidak suka hura-hura. Ibadahnya juga rajin. Menurut kawan sekamarnya, ia cukup pendiam, terutama sebelum terbang. Kalau sudah selesai terbang, baru dia bisa bercanda.

SITA DEWI/ bersambung