Kisah Duka Bunda Teeza (2)

By nova.id, Senin, 3 Mei 2010 | 04:09 WIB
Kisah Duka Bunda Teeza 2 (nova.id)

Kisah Duka Bunda Teeza 2 (nova.id)

"Foto: Daniel Supriyono "

Saraf dan Pembuluh Darah Putus

Sehari sebelum kecelakaan, aku masih mengantar Teeza kembali ke rumah dinasnya di Curug. Kami sempat mengobrol soal kemantapannya bergabung dengan AirAsia yang langsung ia jawab, "Ya iyalah!" Ia juga berpesan agar aku mengantarnya ke Bandara Soekarno Hatta pada Sabtu subuh untuk penerbangan perdananya.

Malam itu, ia begitu tak sabar ingin cepat sampai di rumah dinasnya dan segera beristirahat karena harus terbang pagi esoknya. Senin (19/4) itu, ia harus melatih taruna STPI.

Jam 06.00, ia sudah melatih satu taruna dan berjalan lancar. Latihan hari itu adalah touch-and-go landing, yaitu menyentuhkan roda pesawat seperti hendak mendarat dan langsung terbang kembali. Taruna kedua yang ia latih adalah Sephazka Abdillah (19). Berdasar info yang kudapat, latihan berjalan lancar.

Setelah ia mendapat kode "clear to land" dari menara pengawas, pesawat Tobago TB-10 itu pun bersiap mendarat. Mungkin, motor yang ingin melintas itu sudah bersiap-siap di pinggir landasan. Kalau pesawat berlatih touch-and-go landing, beberapa detik setelah roda pesawat menyentuh landasan, ia akan segera terbang kembali.

Saat hendak kembali terbang, moncong pesawat pasti sudah menghadap ke atas. Mungkin, dipikir si pengendara motor itu, pesawat latih akan segera terbang dan mereka bisa melintas. Ternyata, Teeza sedang memberi latihan aborted takeoff atau pembatalan penerbangan, sehingga moncong pesawat yang tadinya mendongak ke atas malah kembali ke bawah.

Sial, motor itu sudah terlanjur melintas. Sayap pesawat sebelah kiri menyenggol motor dan pesawat latih itu pun terpelanting. Saat Teeza dan Sephazka dievakuasi, pesawat latih itu dalam keadaan terbalik.

Kawan-kawan STPI langsung melarikan Teeza ke RS Siloam, Karawaci. Kata temannya, Teeza masih merespons saat diminta menggenggam tangan temannya di perjalanan menuju rumah sakit.

Sejak Teeza masuk ruang ICU, aku tak putus mendoakan agar ia bangun. Kondisi Teeza sudah parah. Banyak saraf-saraf dan pembuluh darah kaki kanannya yang putus. Lukanya pun begitu lebar. Ia juga mengalami patah tulang di banyak bagian.

Operasi pertama yang diberikan adalah untuk menyambung kembali pembuluh darah yang terputus. Operasi yang berlangsung selama 12 jam itu bisa dibilang lancar. Saat aku membisikkan beberapa kalimat, tensinya naik. Kata dokter, artinya ia bisa mendengarku.

Selasa (20/4) pagi, dokter menyatakan, tak ada pilihan lain kecuali mengamputasi kaki kanannya. Aku sudah meminta evakuasi medis ke Singapura tapi kondisi Teeza tak memungkinkan untuk dibawa terbang. Lagipula, menurut dokter, dibawa ke ujung dunia pun, dengan kondisi seperti itu, tindakan amputasi adalah prosedur yang sudah pasti akan dilakukan. Aku pun pasrah dan hanya minta operasi dilakukan setelah ayahnya sampai di rumah sakit.

Operasi amputasi dilakukan Selasa sore. Sebelum masuk ruang operasi, aku sempat membisikkan kalimat-kalimat penyemangat di telinga Teeza. Operasi berjalan singkat dan bisa dibilang berhasil meski Teeza tetap dalam kondisi kritis.