Sekian lama saya tak kunjung bisa memutuskan, operasi atau tidak. Sempat juga selama seminggu tak bisa bangun dari ranjang karena rasa sakit makin mendera. Di tengah penderitaan itu, saya sempat terpikir, akan pasrah di meja operasi. Tapi, biayanya besar sekali, bisa mencapai Rp 80 juta. Itu pun tak ada jaminan berhasil, sementara uang saya tak cukup.
Oh, ya, sebelum sakit, saya sempat bekerja di tim kreatif RCTI. Tugasnya membuat desain program, menulis naskah untuk acara entertainmen, sinetron, dan lainnya. Tapi, karena sering minta izin untuk berobat, akhirnya saya mengundurkan diri. Malu terlalu sering sakit dan diberi dispensasi masuk kerja kapan saja saya bisa. Nah, sejak itu, saya hidup dari tabungan.
Di sisi lain, rasa sakit semakin menjadi sampai sering terasa seperti disilet-silet. Kesemutan, berkunang-kunang, dan kepala pusing, pasti muncul saat rasa sakit itu datang. Bahkan, kadang sampai black out alias pingsan. Karena tak tahan, saya nekat kirim SMS ke seorang teman. Dia anggota DPRD di Jakarta. Saya mau ambil jalan operasi dan minta bantuan dia.
Belum lagi dapat jawaban, saya berubah pikiran. Maret 2008, saya putuskan berobat secara natural di Klinik Holistik di Purwakarta (Jabar). Istilahnya, saya opname di sana untuk menjalani detoksifikasi. Salah satu programnya, setiap pagi wajib minum dua gelas jus buah organik. Makanannya pun serba umbi-umbian
Di klinik itu pula saya dengar informasi kemungkinan saya akan lumpuh betulan. Saya pasrah saja dan terus menjalani pengobatan akupresur, akupuntur, darah diberi ozon dan hipnoterapi. Tak lupa, saya terus berdoa.